A. Diskripsi
Agama Islam mengatur
hubungan manusia dengan Allah SWT, antar sesama dan dengan alam sekitar serta hubungan manusia dengan diri sendiri.
Hubungan tersebut terwujud dalam bentuk ibadah
(mahdhah dan ghairu mahdhah), kemudian dimanifestasikan dalam
sikap yang serasi dalam ketundukan dan
ketaatan, baik terhadap Allah SWT, sesama manusia atau makhluk Allah lainnya bahkan terhadap diri sendiri.
Agar terjadi Keserasian hubungan, seorang
manusia memerlukan tuntunan dan bimbingan, sehingga dapat terhindar dari
ketidakbahagiaan dan kegagalan hidup. Tuntunan hidup disebut syari'ah (Islam) (QS. Al Maidah : 48).
Ketaatan muslim menjalankan syari'at, tergantung kekokohan pondasi (Iman / aqidah) yang menghujam di
dalam hatinya. Karena buah dari iman menghasilkan syari'ah. Buah dari syari'ah
menghasilkan akhlak yang baik (ihsan). Perhatikan skema :
Catatan :
- Pribadi yang meyakini terhadap keenam rukun iman inilah yang disebut "orang beriman" (mukmin).
- Pribadi yang tunduk dan patuh kepada aturan islam disebut "muslim".
- Pribadi yang mengakui beriman dan dibuktikan dengan Islam yang membuahkan akhlakul karimah disebut "Muhsin".
Dengan demikian,
melalui aqidah Islam, buahnya adalah sikap, perbuatan dan ucapan yang dipantulkan dalam kehidupan sehari-hari. Bila yang
dipantulkan berupa kebiasaan baik, disebut "Husnul khuluq" =
akhlak mulia. Sebaliknya bila yang dipantulkan berupa kebiasaan yang tidak baik
disebut "Su'ul khuluq" =
akhlak tercela.
Diantara perilaku akhlak terpuji adalah sikap husnudzon
terhadap Allah SWT, memiliki sikap yang gigih, senantiasa berinisiatif, rela
berkorban dan memilki sikap yang benar terhadap makhluk lain selain manusia.
A. PETA KONSEP
1.
Husnudhan
A. Pengertian Husnudzan
Husnuzhan berasal dari
bahasa Arab yang artinya berprasangka baik (positive thinking).
Husnudzan adalah lawan dari suudzan.
Berkenaan dengan husnudzan
perhatikan hadits qudsi di bawah ini!
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasuulullah saw. bersabda : "Allah swt. berfirman : "Aku menurut sangkaan hambaKu kepadaKu, dan Aku bersamanya ketika ia mengingatKu. Jika ia ingat kepadaKu dalam dirinya maka Aku ingat kepadanya dalam diriKu. Jika ia ingat kepadaKu dalam kelompok orang banyak maka Aku mengingatnya dalam kelompok yang lebih baik dari padanya. Jika ia mendekat kepadaKu sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia datang kepadaKu dengan berjalan maka Aku datang kepadanya dengan berlari-lari kecil''. (Hadits ditakhrij oleh Ibnu Majah).
Lebih dalam lagi,
Ibnu Atha'illah dalam kitab Al Hikam mengungkapkan bahwa siapa yang ingin
mengetahui kedudukannya di sisi Allah, maka lihatlah seberapa tinggi kedudukan
Allah dalam hatinya. Demikian pula, siapa yang ingin mengetahui seberapa dekat
Allah dengan dirinya, maka lihatlah seberapa dekat Allah dengan hatinya.
Dalam hadis qudsi
di atas tersirat sebuah ajakan dari Rasulullah SAW agar kita berusaha selalu
dekat dengan Allah SWT, berbaik sangka (husnudzan) dan tidak berburuk sangka
(su'udzhan) kepada-Nya. Karena Allah SWT "berbuat" sesuai prasangka
hamba-Nya. Bila seorang hamba berprasangka bahwa Allah itu jauh, maka Allah pun
akan "menjauh", sebaliknya bila ia berprasangka bahwa Allah itu
dekat, maka Allah pun akan "mendekat" kepadanya.
Lewat hadis ini
pula Rasulullah SAW pun mengajarkan umatnya untuk selalu berpikir positif dalam
segala hal. Semua kejadian, apa pun itu, berada sepenuhnya dalam genggaman
Allah SWT dan terjadi karena seizin-Nya. Dengan berpikir positif, seseorang
akan mampu menyikapi setiap kejadian dengan cara terbaik. Selain itu, ia pun
akan mampu menghadapi hidup dengan optimis. Betapa tidak, ia dekat dengan Allah
Dzat Penguasa yang ada. Karena itu, Rasulullah SAW mengungkapkan bahwa orang
beriman itu tidak pernah rugi, diberi nikmat dia bersyukur. Syukur adalah
kebaikan bagi dirinya, diberi ujian dia bersabar, dan sabar adalah kebaikan
bagi dirinya.
Dengan demikian
dapat dipahami bahwa Allah tidak pernah membuat jarak dengan manusia. Manusia
sendiri yang membuat jarak dengan Allah. Demikian pula, Allah tidak pernah
menghambat manusia untuk sukses, tapi manusia sendiri yang menghalangi diirnya
untuk sukses. Kunci dari semua itu adalah pikirannya. Manusia adalah bentukan
pikirannya. Tak heran bila Norman Vincent Peale mengatakan, "You are what
you think!"; Anda adalah apa yang Anda pikiran.
Sebuah penelitian
yang dilakukan Harvard University membuktikan bahwa kesuksesan seseorang 85
persen ditentukan oleh sikap, dan 15 persen sisanya ditentukan oleh
keterampilan dan intelektualitas. Sikap itu sendiri dibentuk oleh pikiran.
Dengan kata lain, 85 persen kesuksesan dan kegagalan ditentukan oleh kualitas
pikiran. Dalam konteks bahasan ini, kesuksesan untuk dekat dengan Allah sangat
dipengaruhi oleh sejauh mana seseorang berpikir positif tentang Allah. Wallahu
a'lam.
- Macam-macam Perilaku Husnudzan
B.1 Husnudzan Kepada Allah SWT
Husnudzan kepada
Allah SWT artinya berbaik sangka kepada Allah Yang memiliki segala kesempurnaan
serta bersih dari segala sifat kekurangan. Dengan demikian, kita menyakini
segala perbuatan dan ciptaan Allah tiada yang sia-sia. Segalanya pasti ada
hikmahnya.
Seorang muslim diperintahkan untuk senantiasa berbaik sangka kepada Allah SWT. Hal ini harus dilakukan dengan alasan bahwa yang pertama mustahil Allah menghendaki sesuatu yang buruk kepada hamba-NYA. Karena Allah adalah zat yang maha Pengasih lagi maha Penyayang.
Bentuk husnudzan seorang hamba kepada Allah adalah dengan terus menerus beranggapan bahwa segala sesuatu yang ditakdirkan Allah kepada dirinya adalah pilihan yang terbaik dari Allah SWT. Adapun jika ternyata kenyataan yang dia terima merupakan kenyataan yang pahit bagi umumnya manusia, hendaklah dia kembali introspeksi dan tidak serta merta berprasangka bahwa Allah telah berkehandak buruk baginya.
Misalnya ketika seseorang terkena musibah, hendaknya dia tidak berprasangka buruk kepada Allah. Dlam kasus seperti ini, seorang muslim diperintahkan untuk merasa bahwa Allah telah memperingatkan dirinya untuk mengoreksi seluruh amal perbuatannya.
Alasan mengapa seorang hamba diwajibkan untuk berhusnudzan kepada Allah yang kedua yaitu karena pengetahuan manusia sangatlah terbatas. Manusia hanya mengetahui hal-hal yang bersifat kasat mata dan sama sekali tidak mengetahui rahasia yang terdapat di balik realita. Karena keterbatasan pengetahuan terhadap rahasia kejadian alam inilah manusia seharusnya berbaik sangka kepada Allah SWT. Sebab apa yang dia kira sebagai suatu kebaikan, belum tentu baik di mata Allah SWT, dan apa yang dia sangka sebagai keburukan juga belum tentu buruk di mata Allah SWT. Hal ini sesuai dengan dengan firman Allah SWT.
Artinya: Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui (QS. Al Baqarah: 216)
Seorang muslim diperintahkan untuk senantiasa berbaik sangka kepada Allah SWT. Hal ini harus dilakukan dengan alasan bahwa yang pertama mustahil Allah menghendaki sesuatu yang buruk kepada hamba-NYA. Karena Allah adalah zat yang maha Pengasih lagi maha Penyayang.
Bentuk husnudzan seorang hamba kepada Allah adalah dengan terus menerus beranggapan bahwa segala sesuatu yang ditakdirkan Allah kepada dirinya adalah pilihan yang terbaik dari Allah SWT. Adapun jika ternyata kenyataan yang dia terima merupakan kenyataan yang pahit bagi umumnya manusia, hendaklah dia kembali introspeksi dan tidak serta merta berprasangka bahwa Allah telah berkehandak buruk baginya.
Misalnya ketika seseorang terkena musibah, hendaknya dia tidak berprasangka buruk kepada Allah. Dlam kasus seperti ini, seorang muslim diperintahkan untuk merasa bahwa Allah telah memperingatkan dirinya untuk mengoreksi seluruh amal perbuatannya.
Alasan mengapa seorang hamba diwajibkan untuk berhusnudzan kepada Allah yang kedua yaitu karena pengetahuan manusia sangatlah terbatas. Manusia hanya mengetahui hal-hal yang bersifat kasat mata dan sama sekali tidak mengetahui rahasia yang terdapat di balik realita. Karena keterbatasan pengetahuan terhadap rahasia kejadian alam inilah manusia seharusnya berbaik sangka kepada Allah SWT. Sebab apa yang dia kira sebagai suatu kebaikan, belum tentu baik di mata Allah SWT, dan apa yang dia sangka sebagai keburukan juga belum tentu buruk di mata Allah SWT. Hal ini sesuai dengan dengan firman Allah SWT.
Artinya: Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui (QS. Al Baqarah: 216)
Manifestasi
perilaku husnudzan manusia kepada Allah SWT adalah syukur dan sabar. Rasulullah
SAW mengungkapkan bahwa orang beriman itu tidak pernah rugi. Jika ia diberi
nikmat, maka dia bersyukur. Syukur adalah kebaikan bagi dirinya. Dan jika ia
diberi ujian dia bersabar. Sabar adalah kebaikan bagi dirinya.
1. Syukur
Dalam QS
Al-Baqarah [2] :152, Allah SWT berfirman, ''Maka ingatlah kamu kepada-Ku
niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu
mengingkari (nikmat)-Ku.'' Ayat ini secara jelas dan gamblang memerintahkan
kepada kita untuk selalu mengingat Allah dan bersyukur atas segala nikmat-Nya.
Secara bahasa,
syukur berarti berterima kasih kepada Allah. Sedangkan Ar-Raghib Al-Isfahani,
salah seorang yang dikenal sebagai pakar bahasa Alquran, dalam Al Mufradat
fi Gharib Al Quran, mengatakan bahwa kata 'syukur' mengandung arti gambaran
dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan.
Kesyukuran, pada
hakikatnya, merupakan konsekuensi logis bagi seorang manusia, yang notabene
sebagai makhluk, kepada Allah, sebagai Tuhan yang telah menciptakan dan
melimpahkan berbagai nikmat. Namun, kerap kali manusia terlupa dan tidak
bersyukur atas karunia-Nya.
Ketidakbersyukuran
manusia, biasanya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, salah melakukan
ukuran/menilai. Dalam konteks ini maksudnya bahwa manusia selalu mengukur suatu
nikmat dari Allah itu dengan ukuran keinginannya. Artinya, jika keinginannya
dipenuhi, maka ia akan mudah untuk bersyukur. Sebaliknya, jika belum
dikabulkan, maka ia akan enggan untuk bersyukur.
Penilaian seperti
ini jelas bertentangan dan cenderung menafikan nikmat yang diberikan. Penilaian
yang benar adalah berdasarkan apa yang kita peroleh. Karena, apa yang kita
inginkan belum tentu yang terbaik di hadapan Allah. Dan, belum tentu juga itu
yang terbaik buat diri kita. Perhatikan firman Allah, ''Boleh jadi kamu
membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai
sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.'' (QS. Al Baqarah [2] : 216).
Kedua, selalu
melihat kepada orang lain yang diberikan lebih banyak nikmat. Perilaku ini
hanya menyuburkan iri, hasad, dan dengki kepada orang lain. Sedangkan perilaku
bagi orang beriman haruslah melihat kepada orang yang kurang beruntung.
Rasulullah, sebagaimana diriwayatkan Bukhari dan Muslim, mengajarkan, ''Apabila
seseorang di antara kamu melihat orang yang dilebihkan Allah dalam hal harta
benda dan bentuk rupa, maka hendaklah ia melihat kepada orang-orang yang lebih
rendah daripadanya.''
Ketiga, menganggap
apa yang didapati dari nikmat Allah adalah hasil usahanya. Perilaku ini
menumbuhkan sifat kikir dan melupakan Allah sebagai pemberi nikmat tersebut.
Padahal, tidak ada satu nikmat pun yang datang dengan sendirinya. Melainkan,
Allah yang telah mengatur semuanya. Firman Allah SWT, ''Bersyukurlah kepada
Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk
dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji.'' (QS. Luqman [31] : 12). Kini, mumpung Allah
masih memberikan waktu, sudahkah kita mensyukuri semua nikmat-Nya? Wallahu
a'lam bis-shawab.
2.
Sabar
Salah
satu sifat yang dapat dijadikan parameter kualitas keimanan seseorang adalah
sabar. Semakin kuat keimanan seseorang kepada Allah SWT, semakin kuat pula
kesabaran yang dimilikinya, dan begitu sebaliknya. Dengan begitu, iman dan
sabar bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. ''Iman itu
sabar,'' sabda Rasulullah SAW.
Sabar
menurut bahasa adalah tahan menghadapi cobaan, tidak lekas marah, tidak lekas
putus asa, tidak lekas patah hati, tabah, tenang, tidak tergesa-gesa, dan tidak
terburu nafsu. Sedangkan lawan dari sabar adalah sedih dan keluh kesah. Dalam
Alquran, sabar diartikan sebagai sikap menahan diri atas sesuatu yang tidak
disukai karena mengharap ridha Allah (QS. Ar Ra’d [13] : 22).
Sabar
tidak identik dengan ketidakberdayaan. Sabar juga bukan merupakan kejumudan
(statis), hanya berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa. Sabar adalah
kemampuan mengendalikan diri untuk tidak mengambil tindakan sebelum tepat
saatnya. Sabar lebih cenderung kepada usaha untuk menjaga kejernihan pikiran
dan kebersihan hati, sehingga tidak mengambil tindakan secara tergesa-gesa.
Oleh
sebab itulah Allah memerintahkan orang-orang beriman agar bersikap sabar dalam
menghadapi berbagai cobaan kehidupan (QS. Al Baqarah [2]: 155-157), sebagai
ujian untuk menentukan kualitas keimanan seseorang (QS. Muhammad [47]: 31 dan
QS An Nahl [16] : 65). Allah SWT juga menyatakan bahwa orang-orang yang besar
imannya hanyalah orang yang sabar (QS. Al Baqarah [2] : 177), hamba yang sabar
adalah pribadi yang tidak pernah mengeluh ketika cobaan datang menghantamnya,
karena ia meyakini bahwa di balik kesusahan dan cobaan itu terdapat kemudahan
(QS. Al Insyirah [94]: 5-6) atau hikmah kebaikan yang tidak ia ketahui (QS. Al
Baqarah [2] : 216).
Untuk
itulah Rasulullah mengatakan, ''Sungguh aneh persoalan seorang Mukmin!
Sesungguhnya semua permasalahannya adalah baik baginya, hal ini tidak dimiliki
kecuali oleh orang-orang Mukmin. Jika mendapatkan kebaikan maka ia bersyukur
dan kesyukurannya itu menjadi hak baginya, dan jika ditimpa kesusahan maka ia
bersabar dan kesabaran itu menjadi baik baginya.'' (HR Muslim).
Adapun
buah dari kesabaran yang dilakukan seseorang adalah ridha, kedamaian,
kebahagiaan, terciptanya 'izzah (keagungan), kemuliaan, kebaikan, kemenangan,
bantuan, dan kecintaan dari Allah. Dan, puncak dari semua itu adalah buah yang
akan didapat di akhirat, yaitu kenikmatan abadi yang tidak terbatas (QS. Az
Zumar [39] : 10).
Siapa
pun kita hendaknya mampu mewujudkan dan mengedepankan sikap sabar ini dalam
setiap aspek kehidupan. Tak sepatutnya kita hanya pandai berkeluh kesah dan
berputus asa apabila menghadapi persoalan. Karena, keluh kesah, tidak tenang,
tidak tabah, cepat marah, dan cepat putus asa adalah sifat yang tidak layak disandang
oleh seorang Muslim. Wallahu a'lam bis-shawab.
B.2 Husnudzan
Kepada Diri Sendiri
Setiap orang yang berperilaku husnudzan kepada diri
sendiri akan berperilaku positif terhadap dirinya sendiri. Di antara perilaku
positif tersebut adalah perilaku percaya diri dan perilaku gigih.
1. Percaya Diri
Percaya diri termasuk sikap dan perilaku terpuji yang
harus dimiliki oleh setiap umat Islam. Seseorang yang percaya diri tentu akan
yakin terhadap kemampuan dirinya, sehingga ia berani mengeluarkan pendapat dan melakukan
suatu tindakan. Sikap optimis terhadap rahmat dan pertolongan Allah akan
membawa kepada sikap percaya diri. Tentunya percaya diri dalam menjalan segala
yang tidak dilarang oleh Allah SWT.
Imam Malik, dalam bukunya Al-Muwatha' meriwayatkan bahwa
Abu 'Ubaidah ibn al-Jarrah, sahabat Nabi yang memimpin pasukan Islam menghadapi
Romawi pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, suatu ketika menyurati Umar,
menggambarkan kekhawatirannya akan kesulitan menghadapi pasukan Romawi.
Umar menjawab, "Betapapun seorang Muslim ditimpa
kesulitan, Allah akan menjadikan sesudah kesulitan itu kelapangan, karena
sesungguhnya satu kesulitan tidak akan mampu mengalahkan dua kelapangan.
Kesulitan dan kelapangan adalah dua hal yang senantiasa
berputar menimpa diri manusia, silih berganti. Kesulitan identik dengan
kegagalan dan kesengsaraan. Seseorang yang ditimpa kesulitan, maka ia tengah
berkutat dengan kekhawatiran dan kesedihan.
Kelapangan yang dimaksud dalam jawaban Umar merupakan
bentuk penyikapan terhadap kesulitan, mengubah energi negatif menjadi energi
positif. Kelapangan akan mampu mengalahkan kesulitan tatkala dalam diri pemilik
kesulitan terpatri sikap optimisme.
Optimisme tidak berarti kepercayaan diri berlebih, bukan
pula kepasrahan jiwa. Akan tetapi, sebentuk semangat yang bersemayam dalam hati
untuk senantiasa berusaha dan berupaya ketika kesulitan menimpa.
Di samping itu, dalam konteks seorang Muslim, optimisme
merupakan pemicu agar kita bersungguh-sungguh dalam melaksanakan suatu
pekerjaan, walaupun baru saja menyelesaikan pekerjaan yang lainnya. Tiada
kekosongan setelah satu bidang terpenuhi.
Rasulullah Saw mengajak umatnya agar terus-menerus
bekerja dan berusaha tanpa menggantungkan diri kepada orang lain. Sabda beliau,
"Demi Tuhan, sesungguhnya seseorang di antara kamu mengambil tali,
kemudian mengikat sekeping kayu dan memikul di punggungnya untuk dijual,
sehingga Allah memelihara air mukanya dari meminta-minta, adalah lebih baik
daripada ia meminta kepada orang lain, baik ia diberi maupun tidak." (HR Bukhari).
Sepatutnya sikap optimisme tetap tersemai di hati umat
Islam. Membangun sikap optimisme, setidaknya ada dua hal yang seyogianya kita
lakukan, Pertama, melakukan perbaikan diri lewat usaha-usaha konkret dan amal
nyata. Sesungguhnya keterpurukan menimpa umat Islam karena kita belum mampu
menghasilkan karya berharga bagi umat. Kata belum menjadi perbuatan. Konsep
belum berwujud aksi.
Kedua, yakin akan ada kelapangan di hari kemudian.
Kelapangan yang diperoleh dari kesungguhan, kontinuitas beramal, dan berinovasi
tiada henti dengan dibarengi keyakinan adanya bantuan Ilahi. "Sesungguhnya
kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang tersedia," demikian kata
Muhammad Abduh.
2. Gigih
Seorang yang berbaik sangka kepada Allah terhadap dirinya
sendiri tentu akan berperilaku gigih, karena ia yakin bahwa dengan berperilaku
gigih apa yang diinginkan akan tercapai. Dorongan agar kita gigih berusaha
adalah spirit yang terkandung dalam QS Ar Ra’d [13]: 11
"… Sesungguhnya Allah
tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaaan yang ada pada diri mereka sendiri.…”
Sikap gigih yang sejati dicontohkan oleh Rasulullah saw. Sesampainya Rasulullah saw dan kaum Muhajirin di Madinah,
agenda yang Beliau
prioritaskan adalah memperat tali persaudaraan (ukhuwah) antara
Muhajirin dan Anshar. Ikatan kuat inilah yang mendasari kerukunan, kasih
sayang, serta berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan dengan pengorbanan harta
benda, jiwa, dan raga. Hal ini mereka tumpahkan hanya untuk mengharapkan
keridlaan-Nya. Bahkan, kaum Anshar senantiasa mengutamakan kaum Muhajirin,
sekalipun mereka dalam keadaan susah.
Terdengarlah pada saat itu, Abdurahman bin 'Auf dari
Muhajirin dipersaudarakan dengan sahabat Sa'ad bin Rabi'. Sa'ad bin Rabi'
adalah salah seorang konglomerat Madinah. Sa'ad mempersilakan kepada
Abdurrahman untuk mengambil apa saja yang ia inginkan untuk memenuhi
kebutuhannya.
Abdurrahman bin 'Auf selaku seorang sahabat yang zuhud,
wara', jujur, serta baik akhlaknya tidak serta-merta mengabulkan permohonan
saudaranya ini. Ia tidak mau menerima sesuatu tanpa didasari oleh usaha dan
kerja keras untuk mendapatkannya. Oleh karenanya, Abdurrahman meminta kepada
Sa'ad untuk mengantarkannnya ke pasar. Kepiawaian berdagang yang ia miliki
tidak disia-siakannya. Ia tidak hanya berpangku tangan untuk mendapatkan belas
kasih orang lain, selagi masih ada kemampuan untuk berusaha.
Tidak lama kemudian, karena sifatnya yang jujur, ulet,
serta kerja keras, akhirnya ia pun menjadi pedagang yang sukses, sehingga ia
menjadi seorang konglomerat yang dermawan, serta senantiasa menginfakkan
hartanya demi keberlangsungan dakwah.
Dari kisah tersebut, kita bisa memetik hikmah, di
tengah-tengah himpitan krisis ekonomi yang berkepanjangan ini, bangsa Indonesia
sangat membutuhkan semangat Abdurahman bin 'Auf-Abdurahman bin 'Auf yang baru
guna menyegarkan dan menghidupkan bangsa ini, sehingga mampu mengembalikan
identitas bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat di mata dunia. Karena
selama ini, kita telah kehilangan jati diri sebagai bangsa besar, disebabkan
pemimpin-pemimpinnya yang selalu berharap untuk mendapatkan bantuan dari bangsa
lain. Hal ini mengakibatkan ketergantungan rakyatnya untuk senantiasa
mendapatkan sesuatu tanpa didasari usaha.
Bukankah bangsa ini sangat kaya dengan sumber daya
alamnya? Ini adalah modal dasar yang telah kita miliki. Untuk itu, selanjutnya
tinggal bagaimana kita mampu mengolahnya. Insya Allah dengan kejujuran,
keuletan, dan kerja keras di antara kita, baik pejabat maupun rakyat, bangsa
ini akan kembali menjadi bangsa yang diperhitungkan di kancah dunia. Semoga!
Wallahu a'lam bis-shawab.
B.3 Husnudzan Kepada Sesama Manusia
Husnudzan
atau berbaik sangka terhadap sesama manusia merupakan sikap mental terpuji yang
harus diwujudkan melalui sikap lahir, ucapan, dan perbuatan yang baik dan
diridhai Allah SWT dan bermanfaat.
Sikap, ucapan dan perbuatan baik, sebagai perwujudan husnudzan
itu hendaknya diterapkan dalam kehidupan berkeluarga, bertetangga serta
bermasyarakat.
1.
Kehidupan Berkeluarga
Tujuan hidup berkeluarga yang islami adalah terbentuknya
keluarga atay rumah tangga yang memperoleh ridha dan rahmat Allah SWT, bahagia
serta sejahtera baik di dunia maupun di akhirat.
Agar tujuan luhur tersebut terwujud, maka suami sebagai
kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga, pendamping suami,
hendaknya saling berperasangka baik, tidak boleh saling curiga, saling memenuhi
hak dan melaksanakan kewajiban masing-masing dengan sebaik-baiknya.
Demikian juga hubungan antara anak-anak dan orang tua
hendaknya dilandasi dengan perasangka dan saling pengertian. Anak-anak berbakti
pada orang tuanya dengan bersikap terpuji dan menyenangkan kedua orang tua.
Orang tua pun hendaknya memberi kepercayaan yang diperlukan anak un tuk
mengembangkan diri dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat.
1.
Kehidupan Bertetangga
Tetangga adalah orang-orangnya yang tempat tinggalnya
berdekatan dengan tempat tinggal kita. Antara tetangga yang satu dengan
tetangga lainnya hendaknya saling berperasangka baik dan jangan saling
mencurigai.
Kehidupan bertetangga dianggap saling berperasangka baik
dan tidak saling mencurigai apabila antara lain bersikap dan berperilaku
berikut ini:
- saling menghormati
Antara tetangga yang satu dengan tetangga lainnya
hendaknya saling menghormati dan menghargai, baik melalui sikap dan ucapan
lisan atau melalui perbuatan sikap. Ucapan lisan dan perbuatan menghormati
serta menghargai tetangga termasuk akhlaq mulia, serta termasuk tanda-tanda beriman.
Rasulullah saw bersabda:
“Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia memuliakan
tetangganya.” (HR.
Muslim)
- Berbuat baik kepada tetangga
Perintah berbuat baik kepada tetangga tercantum dalam QS. An Nisa [4] : 36
“Sembahlah Allah dan janganlah
kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua
orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman sejawat,
ibnu sabi dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong dan membangga-banggakan diri.”
Berbuat baik kepada tetangga adalah dengan cara melakukan
kewajiban terhadap tetangga dan perbuatan-perbuatan baik lainnya yang
bermanfaat itu.
Bersikap, bertutur kata, dan melakukan
perbuatan-perbuatan yang menyakiti dan merugikan tetangga termasuk perbuatan
yang diharamkan Allah SWT. Pelaku tidak akan masuk surga. Rasulullah saw
bersabda:
“Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa
aman dari gangguan-gangguannya.”
(HR. Muslim)
- Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara
Tujuan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ialah
terwujudnya kehidupan yang aman, tentram, adil dan makmur, di bawah ampunan
dari ridha Allah SWT.
Agar tujuan luhur tersebut terwujud salah satu usaha yang
harus ditempuh adalah sesama anggota masyarakat atau sesama warga negara saling
berperasangka baik yang diikuti dengan berbagai sikap dan perilaku terpuji yang
bermanfaat. Sesama mereka juga tidak boleh saling berprasangka buruk yang
iikuti dengan berbagai sikap dan perilaku tercela yang merugikan serta
mendatangkan bencana.
Sikap dan perilaku terpuji yang harus diwujudkan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara itu, antara lain:
1. Generasi tua menyayangi generasi muda, antara lain dengan
membimbing mereka agar kualitas kehidupannya dalam berbagai bidang positif
lebih maju daripada generasi tua. Sedangkan generasi muda hendaknya menghormati
generasi tua dengan sikap, ucapan, dan perbuatan yang baik dan bermanfaat,
seperti melaksanakan segala nasihat mereka yang baik dan berguna.
Rasulullah saw bersabda :
Bukan
dari golongan kami (umat Islam) orang yang tidak menyayangi yang muda dan tidak
menghormati yang tua.” (HR.
Ahmad)
2. Sesama anggota masyarakat atau sesama warga negara
hendaknya saling menolong dalam kebaikan, serta ketaqwaan dan jangan saling
menolong dalam dosa serta pelanggaran.
Tolong
menolong dalam kebajikan sesama anggota masyarakat atau sesama warga negara itu
antara lain:
- Pemerintah dan rakyat dari kelompok kaya berusaha bekerja sama untuk menghilangkan kemiskinan. Kelompok kaya mengeluarkan sebagian hartanya untuk menyantuni kaum dhuafa’ melalui zakat, infaq dan sedekah.
- Pemerintah dan masyarakat hendaknya bekerja sama dalam memberantas kejahatan dan kemungkaran yang muncul di masyarakat dengan cara yang bijaksana, sesuai dengan hukum yang berlaku.
C. Membiasakan perilaku husnuzhan dalam
kehidupan sehari-hari.
Setiap muslim atau muslimah hendaknya membiasakan diri
berperilaku husnuzhan baik terhadap Allah SWT, diri sendiri maupun terhadap
sesama manusia. Hidup adalah pencarian kebaikan, karena "Tuhan adalah
sumber kebaikan yang tersembunyi".
Diri kita ini tak pernah berguna jika tidak senantiasa
mencari. Mencari adalah mengupayakan; mencari adalah memikirkan; mencari adalah
kemaslahatan; kemaslahatan adalah gerak: gerak adalah langkah yang positif.
Sebaliknya adalah kevakuman dan diam. Karena vakum dan diam itu berarti netral
dan tenggelam, berarti awal dari segala kemafsadahan.
Tidak ada gerak tanpa semangat, yaitu ide dan pemikiran.
Semangat juga berarti ketulusan; dan tiada ketulusan tanpa akal fikiran.
Makanya tindakan orang gila itu netral (tidak bisa dihakimi), dan tindakan
orang waras adakalanya baik, adakalanya buruk. Bisa baik karena menggunakan
akalnya, dan buruk karena melampiaskan hawa nafsunya.
Yang pertama: akal fikiran ==> ketulusan ==> ide dan pemikiran ==> semangat ==> gerak menuju ke kebaikan dan
kemaslahatan.
Kebalikan dari itu: hawa nafsu ==> kedengkian ==>
kepongahan ==> gerak menuju
kemafsadahan.
Orang diam itu tidak berdasar, makanya tenggelam,
gara-gara menganggurkan akalnya. Statusnya hampir kayak orang gila. (Lain
dengan orang istirahat, karena istirahat, selama itu sesuai kebutuhan, adalah
bagian dari gerak). Patah semangat dan putus asa, lebih parah lagi, adalah
minus dan merupakan awal dari segala kemafsadahan.
Orang yg semangat tentu dia bahagia dan tentram. Semangat
dan gerak adalah bukti dari adanya kebahagiaan dan ketentraman. Makanya Allah
selalu mengaitkan "pahala" --sebagai konsekuensi gerak-- (lahum
ajruhum 'inda rabbihim) dengan kemantapan-keberanian- ketidakkhawatiran (wa
laa khaufun 'alaihim) dan kebahagiaan/ketentraman/ketidaksedihan (wa laa
hum yahzanuun) dalam ayat al-Baqarah : 277.
Sebaliknya, putus asa adalah akibat dari kesedihan, dan
kesedihan mempunyai kaitan erat dengan kebodohan sebagaimana kebahagiaan dan
ketentraman berjalinan dengan kecerdasan dan intelektualitas.
Itu semua adalah prinsip dasar manusia hidup. Adapun
hasil, besar kecilnya, itu tergantung proses kesungguhan dan keteledorannya. (wall-ladziina
jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulana) "Dan orang-orang yang
bersungguh-sungguh mendekatiKU, pasti Aku tunjukkan jalannya" .
(al-Ankabut: 69)
Prinsip seperti itu menunjukkan kedirian manusia. Kedirian
adalah totalitas ide dan pemikiran dari dalam diri sendiri. Kedirian itu tidak
identik dengan ketidakperdulian, kecuekkan, dan acuh tak acuh. Karena kecuekan,
acuh tak acuh, dan sebangsanya itu sebanding dengan kebodohan, hampir setengah
dari kesombongan. Kedirian adalah penyerapan dan filterisasi informasi sehingga
menyusun sebuah keutuhan ide dan pemikiran. Walaupun ada beberapa
tiruan/takliid tapi seakan-akan keluar dari diri sendiri, karena telah difilter
dengan akal sehat tentunya.
Pemikiran dan ide di sini berarti kemantapan (akan sebuah
kebenaran). Di sinilah relevansinya firman Allah SWT "fa idzaa 'azamta
fatawakkal 'alaa Allah" (jika kamu sudah mantap, bertawakkallah pada
Allah) (Ali Imran: 159). Kemantapan di sini sebanding dengan kepengetahuan,
keberanian, dan ketegasan.
Berbaik sangka
kepada Allah SWT sangat banyak manfaatnya. Diantara manfaat yang jelas bisa
dirasakan adalah menambah kadar keimanan
seseoarang kepada Allah SWT. Ketika seseorang senantiasa berhusnudzan
kepada Allah berarti dia yakin bahwa Allah selalu menyayanginya dan akan
berbuat yang terbaik untuknya. Seberat apapun musibah yang diberikan kepadanya
dia kan tetap yakin bahwa semua itu sebagai ajang ujian yang kan membuatnya
lebih dekat kepada Allah SWT . Bahkan orang yang berhusnudzan kepada Allah SWT
tetap akan merasa tenang dan tenteram seberat apapun ujian yang diterima karena
dia yakin Allah tidak akan memberikan ujian melebihi kemampuan hamba-Nya. Allah
SWT berfirman:
Artinya: “ Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al- Baqarah: 286)
Manfaat lain
yang didapat dari sifat husnudzan adalah mendapatan
perubahan takdir yang buruk menjadi takdir yang baik. Dengan terus berbaik
sangka kepada Allah, maka ketentuan yang semula ditulis kurang beruntung bisa
diubah Allah menjadi takdir yang baik, sebab takdir Allah juga ditentukan oleh
faktor prasangka hamba kepada-Nya.
2.
Kontrol
Diri
1. Pengertian Kontrol Diri (Mujahadah al-nafs)
Mujahadah diri” (mujahadah al-nafs) adalah perjuangan sungguh-sungguh atau jihad
melawan ego atau nafsu pribadi. Kenapa jihad atau perang terhadap nafsu pribadi
menjadi sesuatu yang penting? Jika kita telusuri dari sudut pandang
normatifnya, jelas karena agama sangat menganjurkan perilaku atau amaliah ini.
Sampai-sampai, Nabi Saw menyebutnya sebagai jihad akbar (al-jihad al-akbar), yang nilainya lebih utama dibanding jihad
memerangi orang-orang kafir (qital) yang disebut oleh beliau sebagai jihad
kecil (al-jihadal-asghar).
Jika kita menilik secara hakiki, nafsu-diri, atau disebut sebagai hawa nafsu, merupakan
“poros kejahatan” (ma’wa kulli syarrin). Karena, nafsu-diri memiliki
kecenderungan untuk mencari pelbagai kesenangan, masa bodoh terhadap hak-hak
yang musti ditunaikan, serta abai terhadap kewajiban-kewajiban. Siapa pun yang
gemar menuruti apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsunya, maka sesungguhnya
ia telah tertawan dan diperbudak oleh nafsunya itu. Inilah kenapa Nabi Saw
menegaskan bahwa jihad melawan nafsu lebih dahsyat daripada jihad melawan musuh
(qital). Sebabnya adalah, nafsu itu digemari, disenangi, dicintai, dan segala
hal yang mengarah kepada nafsu pastilah menyenangkan. Sehingga, jihad melawan
hawa nafsu adalah jihad melawan hal-hal yang kita senangi, yang kita cintai.
Sebaliknya, jihad melawan orang-orang kafir adalah jihad melawan sesuatu
(manusia, makhluk) yang kita musuhi, kita benci.
Bagaimana halnya dengan aksi-aksi teror yang dilakukan oleh sekelompok kecil
kaum Muslim yang mengatasnamakan jihad? Tentu saja, harus dipahami terlebih
dahulu, bahwa nilai kebenaran yang mereka perjuangkan, yakni jihad fi
sabilillah, itu adalah semu belaka, karena hanya fantasi dan ilusi pribadi
mereka sendiri, yang sesungguhnya lebih berdasar pada hawa nafsu daripada
pertimbangan keagamaan yang rasional dan sahih, sehingga sesungguhnya mereka
tidak sedang melakukan jihad (mujahadah nafsu), tetapi sebaliknya: penghambaan
pada nafsu pribadi, baik nafsu dalam arti orientasi ijtihad (pemikiran pribadi
tentang perang itu sendiri), maupun nafsu dalam arti keinginan untuk
melenyapkan orang lain yang nota bene sesame manusia.
Kembali
ke tema utama, sesungguhnya “mujahadah diri” dimulai dengan cara memusuhi
nafsu-diri, mengangkat paji peperangan terhadapnya. Allah berfirman:
“Orang-orang yang berjihad di jalan Kami, pasti akan kami tunjukkan kepadanya
jalan-jalan Kami…” (QS al-Ankabut: 69). Dalam kaitan ini Imam Ibn al-Qayyim
berkata: “Allah menggantungkan hidayah dengan laku jihad. Maka orang yang
paling sempurna hidayah (yang diperoleh)-nya adalah dia yang paling besar laku
jihadnya. Jihad yang paling fardu adalah jihad melawan nafsu, melawan syahwat,
melawan syetan, melawan rayuan duniawi. Siapa yang bersungguh-sungguh dalam
jihad melawan keempat hal tersebut, Allah akan menunjukkan padanya jalan
ridha-Nya, yang akan mengantarkannya ke pintu surga-Nya. Sebaliknya, siapa yang
meninggalkan jihad, maka ia akan sepi dari hidayah…”
Sesungguhnya, banyak jalan menuju “mujahadah diri”. Salah satu yang bisa
disebut di sini adalah dengan cara merenungi akibat/dampak dari kebaikan
(natijah al-hasanat) dan akibat/dampak kejahatan (natijah al-sayyiat). Allah
Swt berfirman: “Jika kamu berbuat baik, maka kamu berbuat baik kepada dirimu
sendiri. Jika kamu berlaku jahat, maka kamu berbuat jahat pada dirimu sendiri.”
(QS Al-Isra: 7). Menafsirkan ayat ini, sebagian ulama salaf berkata:
“Sesungguhnya amal kebaikan melahirkan cahaya di dalam kalbu, kesehatan pada
badan, kecerahan pada wajah, keluasan pada rizki, serta kecintaan dari segala
makhluk. Sedangkan kejahatan, sebaliknya, menciptakan kegelapan di hati,
keringkihan di badan, kesuraman di wajah, kesempitan pada rizki, serta
kebencian dari hati segala makhluk.”
Para pelaku tindak kriminal di sekitar kita, seperti para koruptor, pemakai narkoba, pembunuh, misalnya, adalah orang-orang yang gagal dalam laku mujahadah diri. Sebaliknya, mereka malah menuruti segala keinginan dan syahwat diri, sehingga mereka tertawan dan diperbudak olehnya. Mereka tidak pernah menyadari tentang buah kejahatan yang akan datang menjelang, cepat atau lambat. Yang mereka pikirkan adalah bayangan semu tentang kenikmatan sesaat nan instan. Na’udzu billah, semoga kita dihindarkan cara pandang sedemikian.
Para pelaku tindak kriminal di sekitar kita, seperti para koruptor, pemakai narkoba, pembunuh, misalnya, adalah orang-orang yang gagal dalam laku mujahadah diri. Sebaliknya, mereka malah menuruti segala keinginan dan syahwat diri, sehingga mereka tertawan dan diperbudak olehnya. Mereka tidak pernah menyadari tentang buah kejahatan yang akan datang menjelang, cepat atau lambat. Yang mereka pikirkan adalah bayangan semu tentang kenikmatan sesaat nan instan. Na’udzu billah, semoga kita dihindarkan cara pandang sedemikian.
Imam Al-Ghazali membagi nafsu kepada empat bagian, yaitu:
1.
Nafsu terhadap harta benda.
Seseorang
yang telah mendapat anugerah Allah maka kewajiban baginya untuk selalu
mensyukuri segala nikmat-Nya. Jika engkau menjadi orang kaya, maka syukurilah.
Jika dirimu berkedudukan, manfaatkanlah kekuasaan dan kedudukanmu untuk
memakmurkan rakyat, bukan memanfaatkan kuasa untuk mengumpul harta benda sampai
tidak habis dimakan tujuh keturunan. Nafsu terhadap harta benda akan
menciptakan keserakahan.
2.
Nafsu amarah
Cara
terbaik untuk bisa mengendalikan nafsu amarah yang ada dalam diri sendiri
dengan berusaha selalu bersabar dalam menghadapi kemarahan dan kezaliman orang
lain, bersikap lapang dada, suka memaafkan dan bermurah hati. Pada dasarnya nafsu
amarah akan dapat membakar dan membutakan hati. Sehingga sesungguhnya akhlak yang
terpuji adalah bagi mereka yang mampu memaafkan kesalahan (kezaliman) orang
lain terhadap diri kita.
Sebagaimana
pesan rasul SAW: Ingat 2 perkara dan lupakan 2 perkara, yaitu: Ingat
kebaikan orang lain pada kita, dan ingat kezaliman kita pada orang lain, serta
lupakan kebaikan kita pada orang, dan lupakan kezaliman orang lain pada kita,
insya allah kita menjadi pribadi muslim yang sejati.
3.
Nafsu terhadap kesenangan duniawi
Kesenangan
duniawi merupakan racun pembunuh yang mengalir dalam urat. Manusia selalu
diingatkan agar tidak terjerumus akan kesenangan duniawi, karena hal itu akan
mendorong nafsu menjadi liar. Orang berlumba mengejar kuasa, tanpa
memeperdulikan kaedah yang di ajarkan agama, apalagi norma-norma pekerjaan yang
sebenarnya, yang terpenting ia dapat memperoleh kekuasaan walau dengan cara
apapun.
4.
Nafsu syahwat.
Imam Al-Gazhali
mengingatkan bahwa syaitan menggoda manusia di dunia ini melalui berbagai cara.
Dan yang paling berbahaya ialah harta, wanita dan takhta (kekuasaan). Setan
telah memasang perangkap godaannya, tidak sedikit manusia yang hancur dan rusak
kehidupannya karena mencari kesenangan dunia semata.
Dalam ajaran Islam, nafsu itu bukan untuk dibunuh, melainkan untuk dijaga dan di kawal. Tetapi Rasulullah SAW sangat menekankan tentang adanya jihad yang batin, maknawi atau jihad melawan hawa nafsu. Ketika balik dari satu peperangan yang dahsyat melawan kaum musyrikin, Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud:
Kita
baru kembali dari satu peperangan yang kecil untuk memasuki peperangan yang
lebih besar. Sahabat terkejut dan bertanya, “Peperangan apakah itu wahai
Rasulullah ? ” Baginda berkata, “Peperangan melawan hawa nafsu.” (Riwayat Al
Baihaqi).
Rasulullah
mengajak kita untuk meninggalkan satu peperangan, satu perjuangan atau satu
jihad yang kecil untuk dilatih melakukan satu perjuangan atau jihad yang besar
yaitu jihad melawan hawa nafsu. Orang yang berperang melawan nafsu ini nampak
seperti duduk-duduk saja, tidak seperti orang lain mungkin bisa dengan bebas
berekspresi, akan tetapi sebenarnya sedang membuat kerja yang besar iaitu
berjihad melawan hawa nafsu.
Abu Hamid Imam al- Ghazali menyebut ada tiga bentuk perlawanan manusia terhadap hawa nafsu, yaitu:
1. Nafs
al-Muthmainnah (nafsu yang tenang), yaitu: Ketika iman menang melawan
hawa nafsu, sehingga perbuatan manusia tersebut lebih banyak yang baik daripada
yang buruk. Dengan kata lain mereka yang mampu menguasai terhadap hawa
nafsunya.
2. Nafs al-Lawwamah (nafsu yang gelisah dan menyesali
dirinya sendiri), yaitu: Ketika iman kadangkala menang
dan kadangkala kalah melawan hawa nafsu, sehingga manusia tersebut perbuatan
baiknya relatif seimbang dengan perbuatan buruknya. Mereka yang sentiasa dalam
bertarik tali melawan hawa nafsu. Adakalanya dia menang dan ada kalanya kalah.
inilah orang yang sedang berjuang (mujahadah). Mereka ini menunaikan
apa yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad melalui sabdanya yang bermaksud:
”Berjuanglah kamu melawan hawa nafsumu sebagaimana kamu berjuang melawan
musuh-musuhmu.”
3. Nafs al-Ammaarah al-Suu’ (nafsu yang mengajak kepada
keburukan), yaitu: Ketika iman kalah dibandingkan
dengan hawa nafsu, sehingga manusia tersebut lebih banyak berbuat yang buruk
daripada yang baik. Mereka inilah yang hawa nafsu sepenuhnya telah dikuasai dan
tidak dapat melawannya sama sekali.