teks

Selamat Datang di Mitrakerjasmk.blogspot.com sebagai media informasi dan belajar bersama

Wednesday, 16 October 2013

Indahnya Beraklakul Karimah


A.   Diskripsi
               Agama Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, antar sesama dan dengan alam sekitar serta hubungan manusia dengan diri sendiri. Hubungan tersebut terwujud dalam bentuk ibadah (mahdhah dan ghairu mahdhah), kemudian dimanifestasikan dalam sikap yang serasi dalam ketundukan dan ketaatan, baik terhadap Allah SWT, sesama manusia atau makhluk Allah lainnya bahkan terhadap diri sendiri.
Agar terjadi Keserasian hubungan, seorang manusia memerlukan tuntunan dan bimbingan, sehingga dapat terhindar dari ketidakbahagiaan dan kegagalan hidup. Tuntunan hidup disebut syari'ah (Islam) (QS. Al Maidah : 48). Ketaatan muslim menjalankan syari'at, tergantung kekokohan pondasi (Iman / aqidah) yang menghujam di dalam hatinya. Karena buah dari iman menghasilkan syari'ah. Buah dari syari'ah menghasilkan akhlak yang baik (ihsan). Perhatikan skema :


Catatan :
  1. Pribadi yang meyakini terhadap keenam rukun iman inilah yang disebut "orang beriman" (mukmin).
  2. Pribadi yang tunduk dan patuh kepada aturan islam disebut "muslim".
  3. Pribadi yang mengakui beriman dan dibuktikan dengan Islam yang membuahkan akhlakul karimah disebut "Muhsin".


Dengan demikian, melalui aqidah Islam, buahnya adalah sikap, perbuatan dan ucapan yang dipantulkan dalam kehidupan sehari-hari. Bila yang dipantulkan berupa kebiasaan baik, disebut "Husnul khuluq" = akhlak mulia. Sebaliknya bila yang dipantulkan berupa kebiasaan yang tidak baik disebut "Su'ul khuluq" = akhlak tercela.
Diantara perilaku akhlak terpuji adalah sikap husnudzon terhadap Allah SWT, memiliki sikap yang gigih, senantiasa berinisiatif, rela berkorban dan memilki sikap yang benar terhadap makhluk lain selain manusia.

A.   PETA KONSEP



KEGIATAN PEMBELAJARAN
1.      Husnudhan
A.       Pengertian Husnudzan
Husnuzhan berasal dari bahasa Arab yang artinya berprasangka baik (positive thinking). Husnudzan adalah lawan dari suudzan. 
Berkenaan dengan husnudzan perhatikan hadits qudsi di bawah ini!





Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasuulullah saw. bersabda : "Allah swt. berfirman : "Aku menurut sangkaan hambaKu kepadaKu, dan Aku bersamanya ketika ia mengingatKu. Jika ia ingat kepadaKu dalam dirinya maka Aku ingat kepadanya dalam diriKu. Jika ia ingat kepadaKu dalam kelompok orang banyak maka Aku mengingatnya dalam kelompok yang lebih baik dari padanya. Jika ia mendekat kepadaKu sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia datang kepadaKu dengan berjalan maka Aku datang kepadanya dengan berlari-lari kecil''. (Hadits ditakhrij oleh Ibnu Majah).

Lebih dalam lagi, Ibnu Atha'illah dalam kitab Al Hikam mengungkapkan bahwa siapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah, maka lihatlah seberapa tinggi kedudukan Allah dalam hatinya. Demikian pula, siapa yang ingin mengetahui seberapa dekat Allah dengan dirinya, maka lihatlah seberapa dekat Allah dengan hatinya.
Dalam hadis qudsi di atas tersirat sebuah ajakan dari Rasulullah SAW agar kita berusaha selalu dekat dengan Allah SWT, berbaik sangka (husnudzan) dan tidak berburuk sangka (su'udzhan) kepada-Nya. Karena Allah SWT "berbuat" sesuai prasangka hamba-Nya. Bila seorang hamba berprasangka bahwa Allah itu jauh, maka Allah pun akan "menjauh", sebaliknya bila ia berprasangka bahwa Allah itu dekat, maka Allah pun akan "mendekat" kepadanya.
Lewat hadis ini pula Rasulullah SAW pun mengajarkan umatnya untuk selalu berpikir positif dalam segala hal. Semua kejadian, apa pun itu, berada sepenuhnya dalam genggaman Allah SWT dan terjadi karena seizin-Nya. Dengan berpikir positif, seseorang akan mampu menyikapi setiap kejadian dengan cara terbaik. Selain itu, ia pun akan mampu menghadapi hidup dengan optimis. Betapa tidak, ia dekat dengan Allah Dzat Penguasa yang ada. Karena itu, Rasulullah SAW mengungkapkan bahwa orang beriman itu tidak pernah rugi, diberi nikmat dia bersyukur. Syukur adalah kebaikan bagi dirinya, diberi ujian dia bersabar, dan sabar adalah kebaikan bagi dirinya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Allah tidak pernah membuat jarak dengan manusia. Manusia sendiri yang membuat jarak dengan Allah. Demikian pula, Allah tidak pernah menghambat manusia untuk sukses, tapi manusia sendiri yang menghalangi diirnya untuk sukses. Kunci dari semua itu adalah pikirannya. Manusia adalah bentukan pikirannya. Tak heran bila Norman Vincent Peale mengatakan, "You are what you think!"; Anda adalah apa yang Anda pikiran.
Sebuah penelitian yang dilakukan Harvard University membuktikan bahwa kesuksesan seseorang 85 persen ditentukan oleh sikap, dan 15 persen sisanya ditentukan oleh keterampilan dan intelektualitas. Sikap itu sendiri dibentuk oleh pikiran. Dengan kata lain, 85 persen kesuksesan dan kegagalan ditentukan oleh kualitas pikiran. Dalam konteks bahasan ini, kesuksesan untuk dekat dengan Allah sangat dipengaruhi oleh sejauh mana seseorang berpikir positif tentang Allah. Wallahu a'lam.
  1. Macam-macam Perilaku Husnudzan
B.1  Husnudzan Kepada Allah SWT
Husnudzan kepada Allah SWT artinya berbaik sangka kepada Allah Yang memiliki segala kesempurnaan serta bersih dari segala sifat kekurangan. Dengan demikian, kita menyakini segala perbuatan dan ciptaan Allah tiada yang sia-sia. Segalanya pasti ada hikmahnya. 
Seorang muslim diperintahkan untuk senantiasa berbaik sangka kepada Allah SWT. Hal ini harus dilakukan dengan alasan bahwa yang pertama mustahil Allah menghendaki sesuatu yang buruk kepada hamba-NYA. Karena Allah adalah zat yang maha Pengasih lagi maha Penyayang. 
Bentuk husnudzan seorang hamba kepada Allah adalah dengan terus menerus beranggapan bahwa segala sesuatu yang ditakdirkan Allah kepada dirinya adalah pilihan yang terbaik dari Allah SWT. Adapun jika ternyata kenyataan yang dia terima merupakan kenyataan yang pahit bagi umumnya manusia, hendaklah dia kembali introspeksi dan tidak serta merta berprasangka bahwa Allah telah berkehandak buruk baginya.
Misalnya ketika seseorang terkena musibah, hendaknya dia tidak berprasangka buruk kepada Allah. Dlam kasus seperti ini, seorang muslim diperintahkan untuk  merasa bahwa Allah telah memperingatkan dirinya untuk mengoreksi seluruh amal perbuatannya.
Alasan mengapa seorang hamba diwajibkan untuk berhusnudzan kepada Allah yang kedua yaitu karena pengetahuan manusia sangatlah terbatas. Manusia hanya mengetahui hal-hal yang bersifat kasat mata dan sama sekali tidak mengetahui rahasia yang terdapat di balik realita. Karena keterbatasan pengetahuan terhadap rahasia kejadian alam inilah manusia seharusnya berbaik sangka kepada Allah SWT. Sebab apa yang dia kira sebagai  suatu kebaikan, belum tentu baik di mata Allah SWT, dan apa yang dia sangka sebagai keburukan juga belum tentu buruk di mata Allah SWT. Hal ini sesuai dengan dengan firman Allah SWT.
Artinya: Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui (QS. Al Baqarah: 216)
Manifestasi perilaku husnudzan manusia kepada Allah SWT adalah syukur dan sabar. Rasulullah SAW mengungkapkan bahwa orang beriman itu tidak pernah rugi. Jika ia diberi nikmat, maka dia bersyukur. Syukur adalah kebaikan bagi dirinya. Dan jika ia diberi ujian dia bersabar. Sabar adalah kebaikan bagi dirinya.
1.      Syukur
Dalam QS Al-Baqarah [2] :152, Allah SWT berfirman, ''Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.'' Ayat ini secara jelas dan gamblang memerintahkan kepada kita untuk selalu mengingat Allah dan bersyukur atas segala nikmat-Nya.
Secara bahasa, syukur berarti berterima kasih kepada Allah. Sedangkan Ar-Raghib Al-Isfahani, salah seorang yang dikenal sebagai pakar bahasa Alquran, dalam Al Mufradat fi Gharib Al Quran, mengatakan bahwa kata 'syukur' mengandung arti gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan.
Kesyukuran, pada hakikatnya, merupakan konsekuensi logis bagi seorang manusia, yang notabene sebagai makhluk, kepada Allah, sebagai Tuhan yang telah menciptakan dan melimpahkan berbagai nikmat. Namun, kerap kali manusia terlupa dan tidak bersyukur atas karunia-Nya.
Ketidakbersyukuran manusia, biasanya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, salah melakukan ukuran/menilai. Dalam konteks ini maksudnya bahwa manusia selalu mengukur suatu nikmat dari Allah itu dengan ukuran keinginannya. Artinya, jika keinginannya dipenuhi, maka ia akan mudah untuk bersyukur. Sebaliknya, jika belum dikabulkan, maka ia akan enggan untuk bersyukur.
Penilaian seperti ini jelas bertentangan dan cenderung menafikan nikmat yang diberikan. Penilaian yang benar adalah berdasarkan apa yang kita peroleh. Karena, apa yang kita inginkan belum tentu yang terbaik di hadapan Allah. Dan, belum tentu juga itu yang terbaik buat diri kita. Perhatikan firman Allah, ''Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.'' (QS. Al Baqarah [2] : 216).
Kedua, selalu melihat kepada orang lain yang diberikan lebih banyak nikmat. Perilaku ini hanya menyuburkan iri, hasad, dan dengki kepada orang lain. Sedangkan perilaku bagi orang beriman haruslah melihat kepada orang yang kurang beruntung. Rasulullah, sebagaimana diriwayatkan Bukhari dan Muslim, mengajarkan, ''Apabila seseorang di antara kamu melihat orang yang dilebihkan Allah dalam hal harta benda dan bentuk rupa, maka hendaklah ia melihat kepada orang-orang yang lebih rendah daripadanya.''
Ketiga, menganggap apa yang didapati dari nikmat Allah adalah hasil usahanya. Perilaku ini menumbuhkan sifat kikir dan melupakan Allah sebagai pemberi nikmat tersebut. Padahal, tidak ada satu nikmat pun yang datang dengan sendirinya. Melainkan, Allah yang telah mengatur semuanya. Firman Allah SWT, ''Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.'' (QS. Luqman [31] : 12). Kini, mumpung Allah masih memberikan waktu, sudahkah kita mensyukuri semua nikmat-Nya? Wallahu a'lam bis-shawab.

2.      Sabar
 Salah satu sifat yang dapat dijadikan parameter kualitas keimanan seseorang adalah sabar. Semakin kuat keimanan seseorang kepada Allah SWT, semakin kuat pula kesabaran yang dimilikinya, dan begitu sebaliknya. Dengan begitu, iman dan sabar bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. ''Iman itu sabar,'' sabda Rasulullah SAW.

Sabar menurut bahasa adalah tahan menghadapi cobaan, tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati, tabah, tenang, tidak tergesa-gesa, dan tidak terburu nafsu. Sedangkan lawan dari sabar adalah sedih dan keluh kesah. Dalam Alquran, sabar diartikan sebagai sikap menahan diri atas sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridha Allah (QS. Ar Ra’d [13] : 22).

Sabar tidak identik dengan ketidakberdayaan. Sabar juga bukan merupakan kejumudan (statis), hanya berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa. Sabar adalah kemampuan mengendalikan diri untuk tidak mengambil tindakan sebelum tepat saatnya. Sabar lebih cenderung kepada usaha untuk menjaga kejernihan pikiran dan kebersihan hati, sehingga tidak mengambil tindakan secara tergesa-gesa.

Oleh sebab itulah Allah memerintahkan orang-orang beriman agar bersikap sabar dalam menghadapi berbagai cobaan kehidupan (QS. Al Baqarah [2]: 155-157), sebagai ujian untuk menentukan kualitas keimanan seseorang (QS. Muhammad [47]: 31 dan QS An Nahl [16] : 65). Allah SWT juga menyatakan bahwa orang-orang yang besar imannya hanyalah orang yang sabar (QS. Al Baqarah [2] : 177), hamba yang sabar adalah pribadi yang tidak pernah mengeluh ketika cobaan datang menghantamnya, karena ia meyakini bahwa di balik kesusahan dan cobaan itu terdapat kemudahan (QS. Al Insyirah [94]: 5-6) atau hikmah kebaikan yang tidak ia ketahui (QS. Al Baqarah [2] : 216).

Untuk itulah Rasulullah mengatakan, ''Sungguh aneh persoalan seorang Mukmin! Sesungguhnya semua permasalahannya adalah baik baginya, hal ini tidak dimiliki kecuali oleh orang-orang Mukmin. Jika mendapatkan kebaikan maka ia bersyukur dan kesyukurannya itu menjadi hak baginya, dan jika ditimpa kesusahan maka ia bersabar dan kesabaran itu menjadi baik baginya.'' (HR Muslim).

Adapun buah dari kesabaran yang dilakukan seseorang adalah ridha, kedamaian, kebahagiaan, terciptanya 'izzah (keagungan), kemuliaan, kebaikan, kemenangan, bantuan, dan kecintaan dari Allah. Dan, puncak dari semua itu adalah buah yang akan didapat di akhirat, yaitu kenikmatan abadi yang tidak terbatas (QS. Az Zumar [39] : 10).

Siapa pun kita hendaknya mampu mewujudkan dan mengedepankan sikap sabar ini dalam setiap aspek kehidupan. Tak sepatutnya kita hanya pandai berkeluh kesah dan berputus asa apabila menghadapi persoalan. Karena, keluh kesah, tidak tenang, tidak tabah, cepat marah, dan cepat putus asa adalah sifat yang tidak layak disandang oleh seorang Muslim. Wallahu a'lam bis-shawab.



B.2  Husnudzan Kepada Diri Sendiri

Setiap orang yang berperilaku husnudzan kepada diri sendiri akan berperilaku positif terhadap dirinya sendiri. Di antara perilaku positif tersebut adalah perilaku percaya diri dan perilaku gigih.

1.      Percaya Diri

Percaya diri termasuk sikap dan perilaku terpuji yang harus dimiliki oleh setiap umat Islam. Seseorang yang percaya diri tentu akan yakin terhadap kemampuan dirinya, sehingga ia berani mengeluarkan pendapat dan melakukan suatu tindakan. Sikap optimis terhadap rahmat dan pertolongan Allah akan membawa kepada sikap percaya diri. Tentunya percaya diri dalam menjalan segala yang tidak dilarang oleh Allah SWT.

Imam Malik, dalam bukunya Al-Muwatha' meriwayatkan bahwa Abu 'Ubaidah ibn al-Jarrah, sahabat Nabi yang memimpin pasukan Islam menghadapi Romawi pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, suatu ketika menyurati Umar, menggambarkan kekhawatirannya akan kesulitan menghadapi pasukan Romawi.

Umar menjawab, "Betapapun seorang Muslim ditimpa kesulitan, Allah akan menjadikan sesudah kesulitan itu kelapangan, karena sesungguhnya satu kesulitan tidak akan mampu mengalahkan dua kelapangan.

Kesulitan dan kelapangan adalah dua hal yang senantiasa berputar menimpa diri manusia, silih berganti. Kesulitan identik dengan kegagalan dan kesengsaraan. Seseorang yang ditimpa kesulitan, maka ia tengah berkutat dengan kekhawatiran dan kesedihan.

Kelapangan yang dimaksud dalam jawaban Umar merupakan bentuk penyikapan terhadap kesulitan, mengubah energi negatif menjadi energi positif. Kelapangan akan mampu mengalahkan kesulitan tatkala dalam diri pemilik kesulitan terpatri sikap optimisme.

Optimisme tidak berarti kepercayaan diri berlebih, bukan pula kepasrahan jiwa. Akan tetapi, sebentuk semangat yang bersemayam dalam hati untuk senantiasa berusaha dan berupaya ketika kesulitan menimpa.

Di samping itu, dalam konteks seorang Muslim, optimisme merupakan pemicu agar kita bersungguh-sungguh dalam melaksanakan suatu pekerjaan, walaupun baru saja menyelesaikan pekerjaan yang lainnya. Tiada kekosongan setelah satu bidang terpenuhi.

Rasulullah Saw mengajak umatnya agar terus-menerus bekerja dan berusaha tanpa menggantungkan diri kepada orang lain. Sabda beliau, "Demi Tuhan, sesungguhnya seseorang di antara kamu mengambil tali, kemudian mengikat sekeping kayu dan memikul di punggungnya untuk dijual, sehingga Allah memelihara air mukanya dari meminta-minta, adalah lebih baik daripada ia meminta kepada orang lain, baik ia diberi maupun tidak." (HR Bukhari).

Sepatutnya sikap optimisme tetap tersemai di hati umat Islam. Membangun sikap optimisme, setidaknya ada dua hal yang seyogianya kita lakukan, Pertama, melakukan perbaikan diri lewat usaha-usaha konkret dan amal nyata. Sesungguhnya keterpurukan menimpa umat Islam karena kita belum mampu menghasilkan karya berharga bagi umat. Kata belum menjadi perbuatan. Konsep belum berwujud aksi.

Kedua, yakin akan ada kelapangan di hari kemudian. Kelapangan yang diperoleh dari kesungguhan, kontinuitas beramal, dan berinovasi tiada henti dengan dibarengi keyakinan adanya bantuan Ilahi. "Sesungguhnya kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang tersedia," demikian kata Muhammad Abduh.
 
2.      Gigih

Seorang yang berbaik sangka kepada Allah terhadap dirinya sendiri tentu akan berperilaku gigih, karena ia yakin bahwa dengan berperilaku gigih apa yang diinginkan akan tercapai. Dorongan agar kita gigih berusaha adalah spirit yang terkandung dalam QS Ar Ra’d [13]: 11

"… Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaaan  yang ada pada diri mereka sendiri.…”

Sikap gigih yang sejati dicontohkan oleh Rasulullah saw. Sesampainya Rasulullah saw dan kaum Muhajirin di Madinah, agenda yang Beliau prioritaskan adalah memperat tali persaudaraan (ukhuwah) antara Muhajirin dan Anshar. Ikatan kuat inilah yang mendasari kerukunan, kasih sayang, serta berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan dengan pengorbanan harta benda, jiwa, dan raga. Hal ini mereka tumpahkan hanya untuk mengharapkan keridlaan-Nya. Bahkan, kaum Anshar senantiasa mengutamakan kaum Muhajirin, sekalipun mereka dalam keadaan susah.

Terdengarlah pada saat itu, Abdurahman bin 'Auf dari Muhajirin dipersaudarakan dengan sahabat Sa'ad bin Rabi'. Sa'ad bin Rabi' adalah salah seorang konglomerat Madinah. Sa'ad mempersilakan kepada Abdurrahman untuk mengambil apa saja yang ia inginkan untuk memenuhi kebutuhannya.

Abdurrahman bin 'Auf selaku seorang sahabat yang zuhud, wara', jujur, serta baik akhlaknya tidak serta-merta mengabulkan permohonan saudaranya ini. Ia tidak mau menerima sesuatu tanpa didasari oleh usaha dan kerja keras untuk mendapatkannya. Oleh karenanya, Abdurrahman meminta kepada Sa'ad untuk mengantarkannnya ke pasar. Kepiawaian berdagang yang ia miliki tidak disia-siakannya. Ia tidak hanya berpangku tangan untuk mendapatkan belas kasih orang lain, selagi masih ada kemampuan untuk berusaha.

Tidak lama kemudian, karena sifatnya yang jujur, ulet, serta kerja keras, akhirnya ia pun menjadi pedagang yang sukses, sehingga ia menjadi seorang konglomerat yang dermawan, serta senantiasa menginfakkan hartanya demi keberlangsungan dakwah.

Dari kisah tersebut, kita bisa memetik hikmah, di tengah-tengah himpitan krisis ekonomi yang berkepanjangan ini, bangsa Indonesia sangat membutuhkan semangat Abdurahman bin 'Auf-Abdurahman bin 'Auf yang baru guna menyegarkan dan menghidupkan bangsa ini, sehingga mampu mengembalikan identitas bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat di mata dunia. Karena selama ini, kita telah kehilangan jati diri sebagai bangsa besar, disebabkan pemimpin-pemimpinnya yang selalu berharap untuk mendapatkan bantuan dari bangsa lain. Hal ini mengakibatkan ketergantungan rakyatnya untuk senantiasa mendapatkan sesuatu tanpa didasari usaha.

Bukankah bangsa ini sangat kaya dengan sumber daya alamnya? Ini adalah modal dasar yang telah kita miliki. Untuk itu, selanjutnya tinggal bagaimana kita mampu mengolahnya. Insya Allah dengan kejujuran, keuletan, dan kerja keras di antara kita, baik pejabat maupun rakyat, bangsa ini akan kembali menjadi bangsa yang diperhitungkan di kancah dunia. Semoga! Wallahu a'lam bis-shawab.



B.3  Husnudzan Kepada Sesama Manusia

Husnudzan atau berbaik sangka terhadap sesama manusia merupakan sikap mental terpuji yang harus diwujudkan melalui sikap lahir, ucapan, dan perbuatan yang baik dan diridhai Allah SWT dan bermanfaat.

Sikap, ucapan dan perbuatan baik, sebagai perwujudan husnudzan itu hendaknya diterapkan dalam kehidupan berkeluarga, bertetangga serta bermasyarakat.



1. Kehidupan Berkeluarga

Tujuan hidup berkeluarga yang islami adalah terbentuknya keluarga atay rumah tangga yang memperoleh ridha dan rahmat Allah SWT, bahagia serta sejahtera baik di dunia maupun di akhirat.

Agar tujuan luhur tersebut terwujud, maka suami sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga, pendamping suami, hendaknya saling berperasangka baik, tidak boleh saling curiga, saling memenuhi hak dan melaksanakan kewajiban masing-masing dengan sebaik-baiknya.

Demikian juga hubungan antara anak-anak dan orang tua hendaknya dilandasi dengan perasangka dan saling pengertian. Anak-anak berbakti pada orang tuanya dengan bersikap terpuji dan menyenangkan kedua orang tua. Orang tua pun hendaknya memberi kepercayaan yang diperlukan anak un tuk mengembangkan diri dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat.



1. Kehidupan Bertetangga

Tetangga adalah orang-orangnya yang tempat tinggalnya berdekatan dengan tempat tinggal kita. Antara tetangga yang satu dengan tetangga lainnya hendaknya saling berperasangka baik dan jangan saling mencurigai.

Kehidupan bertetangga dianggap saling berperasangka baik dan tidak saling mencurigai apabila antara lain bersikap dan berperilaku berikut ini:

    1. saling menghormati

Antara tetangga yang satu dengan tetangga lainnya hendaknya saling menghormati dan menghargai, baik melalui sikap dan ucapan lisan atau melalui perbuatan sikap. Ucapan lisan dan perbuatan menghormati serta menghargai tetangga termasuk akhlaq mulia, serta termasuk tanda-tanda beriman. Rasulullah saw bersabda:


 “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia memuliakan tetangganya.” (HR. Muslim)



    1. Berbuat baik kepada tetangga  
Perintah berbuat baik kepada tetangga tercantum dalam QS. An Nisa [4] : 36






“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman sejawat, ibnu sabi dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”

Berbuat baik kepada tetangga adalah dengan cara melakukan kewajiban terhadap tetangga dan perbuatan-perbuatan baik lainnya yang bermanfaat itu.

Bersikap, bertutur kata, dan melakukan perbuatan-perbuatan yang menyakiti dan merugikan tetangga termasuk perbuatan yang diharamkan Allah SWT. Pelaku tidak akan masuk surga. Rasulullah saw bersabda:
 “Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguan-gangguannya.” (HR. Muslim)


    1. Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara

Tujuan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ialah terwujudnya kehidupan yang aman, tentram, adil dan makmur, di bawah ampunan dari ridha Allah SWT.

Agar tujuan luhur tersebut terwujud salah satu usaha yang harus ditempuh adalah sesama anggota masyarakat atau sesama warga negara saling berperasangka baik yang diikuti dengan berbagai sikap dan perilaku terpuji yang bermanfaat. Sesama mereka juga tidak boleh saling berprasangka buruk yang iikuti dengan berbagai sikap dan perilaku tercela yang merugikan serta mendatangkan bencana.

Sikap dan perilaku terpuji yang harus diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara itu, antara lain:

1. Generasi tua menyayangi generasi muda, antara lain dengan membimbing mereka agar kualitas kehidupannya dalam berbagai bidang positif lebih maju daripada generasi tua. Sedangkan generasi muda hendaknya menghormati generasi tua dengan sikap, ucapan, dan perbuatan yang baik dan bermanfaat, seperti melaksanakan segala nasihat mereka yang baik dan berguna.

Rasulullah saw bersabda :
 Bukan dari golongan kami (umat Islam) orang yang tidak menyayangi yang muda dan tidak menghormati yang tua.” (HR. Ahmad)

2. Sesama anggota masyarakat atau sesama warga negara hendaknya saling menolong dalam kebaikan, serta ketaqwaan dan jangan saling menolong dalam dosa serta pelanggaran.

      Tolong menolong dalam kebajikan sesama anggota masyarakat atau sesama warga negara itu antara lain:
    • Pemerintah dan rakyat dari kelompok kaya berusaha bekerja sama untuk menghilangkan kemiskinan. Kelompok kaya mengeluarkan sebagian hartanya untuk menyantuni kaum dhuafa’ melalui zakat, infaq dan sedekah.
    • Pemerintah dan masyarakat hendaknya bekerja sama dalam memberantas kejahatan dan kemungkaran yang muncul di masyarakat dengan cara yang bijaksana, sesuai dengan hukum yang berlaku.

 C.  Membiasakan perilaku husnuzhan dalam kehidupan sehari-hari.

Setiap muslim atau muslimah hendaknya membiasakan diri berperilaku husnuzhan baik terhadap Allah SWT, diri sendiri maupun terhadap sesama manusia. Hidup adalah pencarian kebaikan, karena "Tuhan adalah sumber kebaikan yang tersembunyi".

Diri kita ini tak pernah berguna jika tidak senantiasa mencari. Mencari adalah mengupayakan; mencari adalah memikirkan; mencari adalah kemaslahatan; kemaslahatan adalah gerak: gerak adalah langkah yang positif. Sebaliknya adalah kevakuman dan diam. Karena vakum dan diam itu berarti netral dan tenggelam, berarti awal dari segala kemafsadahan.

Tidak ada gerak tanpa semangat, yaitu ide dan pemikiran. Semangat juga berarti ketulusan; dan tiada ketulusan tanpa akal fikiran. Makanya tindakan orang gila itu netral (tidak bisa dihakimi), dan tindakan orang waras adakalanya baik, adakalanya buruk. Bisa baik karena menggunakan akalnya, dan buruk karena melampiaskan hawa nafsunya.

Yang pertama: akal fikiran ==> ketulusan ==>  ide dan pemikiran ==>  semangat ==> gerak menuju ke kebaikan dan kemaslahatan.

Kebalikan dari itu: hawa nafsu ==> kedengkian ==> kepongahan ==>  gerak menuju kemafsadahan.

Orang diam itu tidak berdasar, makanya tenggelam, gara-gara menganggurkan akalnya. Statusnya hampir kayak orang gila. (Lain dengan orang istirahat, karena istirahat, selama itu sesuai kebutuhan, adalah bagian dari gerak). Patah semangat dan putus asa, lebih parah lagi, adalah minus dan merupakan awal dari segala kemafsadahan.

Orang yg semangat tentu dia bahagia dan tentram. Semangat dan gerak adalah bukti dari adanya kebahagiaan dan ketentraman. Makanya Allah selalu mengaitkan "pahala" --sebagai konsekuensi gerak-- (lahum ajruhum 'inda rabbihim) dengan kemantapan-keberanian- ketidakkhawatiran (wa laa khaufun 'alaihim) dan kebahagiaan/ketentraman/ketidaksedihan (wa laa hum yahzanuun) dalam ayat al-Baqarah : 277.

Sebaliknya, putus asa adalah akibat dari kesedihan, dan kesedihan mempunyai kaitan erat dengan kebodohan sebagaimana kebahagiaan dan ketentraman berjalinan dengan kecerdasan dan intelektualitas.

Itu semua adalah prinsip dasar manusia hidup. Adapun hasil, besar kecilnya, itu tergantung proses kesungguhan dan keteledorannya. (wall-ladziina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulana) "Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh mendekatiKU, pasti Aku tunjukkan jalannya" . (al-Ankabut: 69)

Prinsip seperti itu menunjukkan kedirian manusia. Kedirian adalah totalitas ide dan pemikiran dari dalam diri sendiri. Kedirian itu tidak identik dengan ketidakperdulian, kecuekkan, dan acuh tak acuh. Karena kecuekan, acuh tak acuh, dan sebangsanya itu sebanding dengan kebodohan, hampir setengah dari kesombongan. Kedirian adalah penyerapan dan filterisasi informasi sehingga menyusun sebuah keutuhan ide dan pemikiran. Walaupun ada beberapa tiruan/takliid tapi seakan-akan keluar dari diri sendiri, karena telah difilter dengan akal sehat tentunya.

Pemikiran dan ide di sini berarti kemantapan (akan sebuah kebenaran). Di sinilah relevansinya firman Allah SWT "fa idzaa 'azamta fatawakkal 'alaa Allah" (jika kamu sudah mantap, bertawakkallah pada Allah) (Ali Imran: 159). Kemantapan di sini sebanding dengan kepengetahuan, keberanian, dan ketegasan.

Berbaik sangka kepada Allah SWT sangat banyak manfaatnya. Diantara manfaat yang jelas bisa dirasakan adalah menambah kadar keimanan seseoarang kepada Allah SWT. Ketika seseorang senantiasa berhusnudzan kepada Allah berarti dia yakin bahwa Allah selalu menyayanginya dan akan berbuat yang terbaik untuknya. Seberat apapun musibah yang diberikan kepadanya dia kan tetap yakin bahwa semua itu sebagai ajang ujian yang kan membuatnya lebih dekat kepada Allah SWT . Bahkan orang yang berhusnudzan kepada Allah SWT tetap akan merasa tenang dan tenteram seberat apapun ujian yang diterima karena dia yakin Allah tidak akan memberikan ujian melebihi kemampuan hamba-Nya. Allah SWT berfirman:




Artinya: “ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al- Baqarah: 286)

Manfaat lain yang didapat dari sifat husnudzan adalah mendapatan perubahan takdir yang buruk menjadi takdir yang baik. Dengan terus berbaik sangka kepada Allah, maka ketentuan yang semula ditulis kurang beruntung bisa diubah Allah menjadi takdir yang baik, sebab takdir Allah juga ditentukan oleh faktor prasangka hamba kepada-Nya.


2.      Kontrol Diri

1.   Pengertian Kontrol Diri (Mujahadah al-nafs)

 Mujahadah diri” (mujahadah al-nafs) adalah perjuangan sungguh-sungguh atau jihad melawan ego atau nafsu pribadi. Kenapa jihad atau perang terhadap nafsu pribadi menjadi sesuatu yang penting? Jika kita telusuri dari sudut pandang normatifnya, jelas karena agama sangat menganjurkan perilaku atau amaliah ini. Sampai-sampai, Nabi Saw menyebutnya sebagai jihad akbar (al-jihad al-akbar), yang nilainya lebih utama dibanding jihad memerangi orang-orang kafir (qital) yang disebut oleh beliau sebagai jihad kecil (al-jihadal-asghar).

Jika kita menilik secara hakiki, nafsu-diri, atau disebut sebagai hawa nafsu, merupakan “poros kejahatan” (ma’wa kulli syarrin). Karena, nafsu-diri memiliki kecenderungan untuk mencari pelbagai kesenangan, masa bodoh terhadap hak-hak yang musti ditunaikan, serta abai terhadap kewajiban-kewajiban. Siapa pun yang gemar menuruti apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsunya, maka sesungguhnya ia telah tertawan dan diperbudak oleh nafsunya itu. Inilah kenapa Nabi Saw menegaskan bahwa jihad melawan nafsu lebih dahsyat daripada jihad melawan musuh (qital). Sebabnya adalah, nafsu itu digemari, disenangi, dicintai, dan segala hal yang mengarah kepada nafsu pastilah menyenangkan. Sehingga, jihad melawan hawa nafsu adalah jihad melawan hal-hal yang kita senangi, yang kita cintai. Sebaliknya, jihad melawan orang-orang kafir adalah jihad melawan sesuatu (manusia, makhluk) yang kita musuhi, kita benci.
Bagaimana halnya dengan aksi-aksi teror yang dilakukan oleh sekelompok kecil kaum Muslim yang mengatasnamakan jihad? Tentu saja, harus dipahami terlebih dahulu, bahwa nilai kebenaran yang mereka perjuangkan, yakni jihad fi sabilillah, itu adalah semu belaka, karena hanya fantasi dan ilusi pribadi mereka sendiri, yang sesungguhnya lebih berdasar pada hawa nafsu daripada pertimbangan keagamaan yang rasional dan sahih, sehingga sesungguhnya mereka tidak sedang melakukan jihad (mujahadah nafsu), tetapi sebaliknya: penghambaan pada nafsu pribadi, baik nafsu dalam arti orientasi ijtihad (pemikiran pribadi tentang perang itu sendiri), maupun nafsu dalam arti keinginan untuk melenyapkan orang lain yang nota bene sesame manusia.
Kembali ke tema utama, sesungguhnya “mujahadah diri” dimulai dengan cara memusuhi nafsu-diri, mengangkat paji peperangan terhadapnya. Allah berfirman: “Orang-orang yang berjihad di jalan Kami, pasti akan kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan Kami…” (QS al-Ankabut: 69). Dalam kaitan ini Imam Ibn al-Qayyim berkata: “Allah menggantungkan hidayah dengan laku jihad. Maka orang yang paling sempurna hidayah (yang diperoleh)-nya adalah dia yang paling besar laku jihadnya. Jihad yang paling fardu adalah jihad melawan nafsu, melawan syahwat, melawan syetan, melawan rayuan duniawi. Siapa yang bersungguh-sungguh dalam jihad melawan keempat hal tersebut, Allah akan menunjukkan padanya jalan ridha-Nya, yang akan mengantarkannya ke pintu surga-Nya. Sebaliknya, siapa yang meninggalkan jihad, maka ia akan sepi dari hidayah…”
Sesungguhnya, banyak jalan menuju “mujahadah diri”. Salah satu yang bisa disebut di sini adalah dengan cara merenungi akibat/dampak dari kebaikan (natijah al-hasanat) dan akibat/dampak kejahatan (natijah al-sayyiat). Allah Swt berfirman: “Jika kamu berbuat baik, maka kamu berbuat baik kepada dirimu sendiri. Jika kamu berlaku jahat, maka kamu berbuat jahat pada dirimu sendiri.” (QS Al-Isra: 7). Menafsirkan ayat ini, sebagian ulama salaf berkata: “Sesungguhnya amal kebaikan melahirkan cahaya di dalam kalbu, kesehatan pada badan, kecerahan pada wajah, keluasan pada rizki, serta kecintaan dari segala makhluk. Sedangkan kejahatan, sebaliknya, menciptakan kegelapan di hati, keringkihan di badan, kesuraman di wajah, kesempitan pada rizki, serta kebencian dari hati segala makhluk.”
Para pelaku tindak kriminal di sekitar kita, seperti para koruptor, pemakai narkoba, pembunuh, misalnya, adalah orang-orang yang gagal dalam laku mujahadah diri. Sebaliknya, mereka malah menuruti segala keinginan dan syahwat diri, sehingga mereka tertawan dan diperbudak olehnya. Mereka tidak pernah menyadari tentang buah kejahatan yang akan datang menjelang, cepat atau lambat. Yang mereka pikirkan adalah bayangan semu tentang kenikmatan sesaat nan instan. Na’udzu billah, semoga kita dihindarkan cara pandang sedemikian.

Imam Al-Ghazali membagi nafsu kepada empat bagian, yaitu:


1.    Nafsu terhadap harta benda.

Seseorang yang telah mendapat anugerah Allah maka kewajiban baginya untuk selalu mensyukuri segala nikmat-Nya. Jika engkau menjadi orang kaya, maka syukurilah. Jika dirimu berkedudukan, manfaatkanlah kekuasaan dan kedudukanmu untuk memakmurkan rakyat, bukan memanfaatkan kuasa untuk mengumpul harta benda sampai tidak habis dimakan tujuh keturunan. Nafsu terhadap harta benda akan menciptakan keserakahan.

2.    Nafsu amarah

Cara terbaik untuk bisa mengendalikan nafsu amarah yang ada dalam diri sendiri dengan berusaha selalu bersabar dalam menghadapi kemarahan dan kezaliman orang lain, bersikap lapang dada, suka memaafkan dan bermurah hati. Pada dasarnya nafsu amarah akan dapat membakar dan membutakan hati. Sehingga sesungguhnya akhlak yang terpuji adalah bagi mereka yang mampu memaafkan kesalahan (kezaliman) orang lain terhadap diri kita.

 Sebagaimana pesan rasul SAW: Ingat 2 perkara dan lupakan 2 perkara, yaitu: Ingat kebaikan orang lain pada kita, dan ingat kezaliman kita pada orang lain, serta lupakan kebaikan kita pada orang, dan lupakan kezaliman orang lain pada kita, insya allah kita menjadi pribadi muslim yang sejati.

3.    Nafsu terhadap kesenangan duniawi

Kesenangan duniawi merupakan racun pembunuh yang mengalir dalam urat. Manusia selalu diingatkan agar tidak terjerumus akan kesenangan duniawi, karena hal itu akan mendorong nafsu menjadi liar. Orang berlumba mengejar kuasa, tanpa memeperdulikan kaedah yang di ajarkan agama, apalagi norma-norma pekerjaan yang sebenarnya, yang terpenting ia dapat memperoleh kekuasaan walau dengan cara apapun.

4.    Nafsu syahwat.

Imam Al-Gazhali mengingatkan bahwa syaitan menggoda manusia di dunia ini melalui berbagai cara. Dan yang paling berbahaya ialah harta, wanita dan takhta (kekuasaan). Setan telah memasang perangkap godaannya, tidak sedikit manusia yang hancur dan rusak kehidupannya karena mencari kesenangan dunia semata. 
Dalam ajaran Islam, nafsu itu bukan untuk dibunuh, melainkan untuk dijaga dan di kawal. Tetapi Rasulullah SAW sangat menekankan tentang adanya jihad yang batin, maknawi atau jihad melawan hawa nafsu. Ketika balik dari satu peperangan yang dahsyat melawan kaum musyrikin, Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud:

Kita baru kembali dari satu peperangan yang kecil untuk memasuki peperangan yang lebih besar. Sahabat terkejut dan bertanya, “Peperangan apakah itu wahai Rasulullah ? ” Baginda berkata, “Peperangan melawan hawa nafsu.” (Riwayat Al Baihaqi).

Rasulullah mengajak kita untuk meninggalkan satu peperangan, satu perjuangan atau satu jihad yang kecil untuk dilatih melakukan satu perjuangan atau jihad yang besar yaitu jihad melawan hawa nafsu. Orang yang berperang melawan nafsu ini nampak seperti duduk-duduk saja, tidak seperti orang lain mungkin bisa dengan bebas berekspresi, akan tetapi sebenarnya sedang membuat kerja yang besar iaitu berjihad melawan hawa nafsu.

Abu Hamid Imam al- Ghazali menyebut ada tiga bentuk perlawanan manusia terhadap hawa nafsu, yaitu:


1. Nafs al-Muthmainnah (nafsu yang tenang), yaitu: Ketika iman menang melawan hawa nafsu, sehingga perbuatan manusia tersebut lebih banyak yang baik daripada yang buruk. Dengan kata lain mereka yang mampu menguasai terhadap hawa nafsunya.

2. Nafs al-Lawwamah (nafsu yang gelisah dan menyesali dirinya sendiri), yaitu: Ketika iman kadangkala menang dan kadangkala kalah melawan hawa nafsu, sehingga manusia tersebut perbuatan baiknya relatif seimbang dengan perbuatan buruknya. Mereka yang sentiasa dalam bertarik tali melawan hawa nafsu. Adakalanya dia menang dan ada kalanya kalah. inilah orang yang sedang berjuang (mujahadah). Mereka ini menunaikan apa yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad melalui sabdanya yang bermaksud: ”Berjuanglah kamu melawan hawa nafsumu sebagaimana kamu berjuang melawan musuh-musuhmu.”

3.  Nafs al-Ammaarah al-Suu’ (nafsu yang mengajak kepada keburukan), yaitu: Ketika iman kalah dibandingkan dengan hawa nafsu, sehingga manusia tersebut lebih banyak berbuat yang buruk daripada yang baik. Mereka inilah yang hawa nafsu sepenuhnya telah dikuasai dan tidak dapat melawannya sama sekali.

1 comment:

"tanda-tanda manusia berakhlak baik adalah dengan berkata santun"