teks

Selamat Datang di Mitrakerjasmk.blogspot.com sebagai media informasi dan belajar bersama

Wednesday, 2 December 2015

Bab 5 Sumber-Sumber Hukum Islam

SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM DAN HUKUM TAKLIFI

 

 

Kompetensi Inti:

Ø  Memahami sumber hukum Islam dan hukum taklifi

 

Kompetensi Dasar   : 

v  Menjelaskan   Al Qur’an, Al Hadits, dan Ijtihad sebagai sumber hukum Islam

v  Menjelaskan kedudukan,fungsi dan hikmah hukum taklifi dalam hukum Islam

v  Berprilaku sesuai dengan hukum Islam

 

IFTITAH

Secara sederhana hukum artinya seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui oleh sekelompok masyarakat, yang disusun oleh orang yang diberi wewenang dan berlaku mengikat bagi anggotanya. Bila dikaitkan dengan Islam, maka hukum Islam berarti seperangkat peraturan yang berdasarkan wahyu Allah SWT; dan sunnah Rasulullah saw; yang mengatur tentang tingkah laku manusia yang dibebankan kepada setiap mukallaf dan mengikat semua orang yang beragama Islam. Orang yang hidupnya dibimbing syari'ah (hukum Islam) akan melahirkan kesadaran untuk berperilaku yang sesuai dengan tuntutan dan tuntunan Allah SWT; dan rasulNya, sebab hukum Islam pasti selaras dengan fitrah manusia sehingga siapapun yang bertahkim kepada hukum Islam pasti manusia akan selamat di dunia dan akherat.

Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan berdasarkan dalil-dalil yang terdapat di dalam yaitu; (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).

Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Hadist, Ijma’ dan Qiyas

 

MATERI POKOK

A.   SUMBER HUKUM ISLAM

1.      Al-Qur'an

Menurut bahasa Al-Qur'an berarti "bacaan" (dari asal kata  قَرَأَ يَقْرَأُ قُرْاٰنً).

Menurut istilah :

كَلاَمُ اللهِ اْلمُنَزَّلُ عَلىٰ مُحَمَّدٍ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْمَتْلُوُ اْلمُتَوَاتِرَ

Artinya: Firman Allah yang diturunkan dan dibacakan kepada Nabi Muahmmad saw secara mutawatir.

Al-Qur'an ialah  "Firman Allah SWT, yang yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, dengan perantaraan malaikat Jibril dan dinilai sebagai ibadah bagi orang yang membacanya”.

Al-Qur'an merupakan sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Sebagaimana firman Allah SWT, :

اِنَّاأَنْزَلْنَاإِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا اَرٰكَ اللهُ، وَلاَ تَكُن لِّلْخَائِنِيْنَ خَصِيْمًا

Artinya :   Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab (Al-qur’an) kepadanya (Muhammad) dengan membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (Qs. Anisa ayat 105)

 

Sebagai sumber hukum Islam Al-Qur'an mengandung 3 pokok pengetahuan hukum yang mengatur tentang kehidupan umat  manusia yaitu :

a.       Hukum yang berkaitan dengan aqidah, yakni ketetapan tentang wajib beriman kepada Allah SWT, Malaikat, kitab-kitab-Nya, para Rasul, hari akhir dan takdir.

b.      Tuntunan yang berkaitan dengan akhlaq (budi pekerti), yaitu ajaran agar seorang muslim memiliki sifat mulia dan menjauhi sifat tercela.

c.       Hukum yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang terdiri dari ucapan, perbuatan, perjanjian dan lain-lain. Hukum yang berkaitan dengan amal perbuatan ini terbagi menjadi dua  yaitu :

Ø  Yang mengatur tindakan manusia dalam hubungannya dengan Allah SWT, yang disebut ibadah. Seperti sholat, puasa, haji, nadzar, sumpah dan lain-lain.

Ø  Yang mengatur tindakan manusia baik individu atau kelompok yang disebut dengan muamalah (amal kemasyarakatan). Seperti perjanjian, hukuman (pidana), ekonomi, pendidikan, pernikahan dan semacamnya.

 

Fungsi dan Kedudukan  Al-Qur'an.

a.       Sebagai mu'jizat Nabi Muhammad saw.

b.      Sebagai dasar dan sumber hukum Islam yang pertama.

c.       Sebagai pedoman dan petunjuk hidup bagi manusia.

d.      Sebagai pembawa berita gembira dan kebenaran yang mutlak.

e.       Sebagai obat penawar hati bagi orang-orang yang beriman.

f.       Membenarkan dan menyempurnakan kitab-kitab terdahulu.

 

2.   Al-Hadits

Hadits menurut bahasa artinya "berita, warta, perkataan, yang baru". Menurut istilah hadits ialah segala sesuatu yang  disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan (taqrir) Nabi. Bersadarkan definisi tersebut, maka hadits dibagi menjadi 3 bagian yaitu hadits qouliyah (perkataan Nabi saw;), hadits fi'liyah (perbuatan Nabi saw;) dan hadits taqriri (katetapan Nabi saw;).

 

Hadist dibagi menjadi 2 berdasarkan orang yang meriwaytkannya yaitu hadist mutawatir dan hadist ahad, sedangkan menurut kualitas masing-masing orang yang meriwayatkan hadist ahad dibagi menjadi 3 yaitu hadist shoheh, hadist hasan, dan hadist dhoif.

Sedangkan menurut kwalitasnya hadits sendiri di bagi menjadi 2 bagian :

a.       Hadits maqbul (dapat diterima sebagai pedoman) yang mencakup hadits shoheh dan hadits hasan.

b.      Hadits mardud (tidak dapat diterima sebagai pedoman) yang mencakup hadits dhaif (lemah) dan hadits maudlu' (palsu).

 

Usaha seleksi diarahkan kepada 3 unsur hadits yaitu :

a.       Matan (isi hadits). Suatu isi hadits dapat dinilai baik apabila tidak bertentangan dengan Al-Qur'an, hadits lain yang lebih kuat, fakta sejarah dan prinsip-prinsip ajaran Islam.

b.      Sanad (persambungan antara pembawa dan penerima hadits).Sanad dapat dinilai baik apabila antara pembawa dan penerima benar-benar bertemu bahkan berguru.

c.       Rowi (orang yang meriwatkan hadits). Seorang dapat diterima haditsnya apabila memenuhi syarat-syarat :

1)      Adil yaitu orang Islam yang baligh dan jujur, tidak pernah berdusta dan membiasakan berbuat dosa.

2)      Afidh yaitu kuat hafalannya atau mempunyai catatan pribadi yang dapat dipertanggung jawabkan.  

Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an, sebagaimana firman Allah SWT:

وَمَا ءَتٰكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا

Artinya : "Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia, dan apa yang dilarangnya bagimu  maka tinggalkanlah". (Al-Hasyr : 7)

 

Kedudukan dan Fungsi Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam.

a.       Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur'an.

      Misalnya: Allah SWT, berfirman yang artinya : "Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta". (al-Hajj: 30).  Kemudian firman Allah SWT, tadi dikuatkan oleh hadits yang artinya : "Awas! jauhilah perkataan dusta". (HR. Bukhori Muslim).

b.      Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang masih bersifat umum.

      Contoh: Allah SWT, berfirman yang artinya: "Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah dan daging babi". (Al-Maidah:3).  Kemudian  Rasulullah saw, menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh dimakan yaitu ikan dan belalang. Seperti sabda Nabi saw, yang artinya: "Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah, adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalang, sedang  dua macam  darah  adalah hati dan limpha". (HR. Ibnu Majah).

c.       Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al-Qur'an.

      Misalnya cara menyucikan bejana yang dijilat anjing. Rasulullah saw, bersabda yang artinya: "Sucikanlah bejanamu  yang  dijilat  anjing, dengan menyucikan sebanyak tujuh kali salah satunya  dicampur  dengan tanah". (HR. Muslim).

 

3.   Ijtihad

Ijtihad ialah berusaha keras atau bersungguh-sungguh untuk  memecahkan suatu  masalah yang tidak ada ketetapannya baik dalam Al-Qur'an maupun Al-Hadits, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum yang telah ditentukan. Ijtihad dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam yang ketiga. Landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman sebagai berikut:

“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”. (HR.Tirmidzi)                             

Hal yang demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi kepada dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul Saw, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan.

 

Bentuk-bentuk Ijtihad.

a.       Ijma’, yaitu kesepakatan pendapat para ahli mujtahid dalam segala zaman mengenai hukum syari'ah. Misalnya: Kesepakatan para ulama dalam membukukan Al-Qur'an pada waktu kholifah Usman bin Affan.

b.      Qias, yaitu menetapkan suatu hukum terhadap suatu masalah yang tidak ada hukumnya dengan kejadian lain yang ada hukumnya karena eduanya terdapat persamaan illat (sebab-sebabnya). Misalnya: Menyamakan hukum minum bir dan wisky adalah haram diqiaskan dengan munum khamr yang sudah jelas hukumnya dalam Al-Qur'an.

c.       Istikhsan, yaitu menetapkan suatu hukum terhadap masalah ijtihadiyah berdasarkan prinsip-prinsip kebaikan. Misalnya: Dokter laki-laki melihat aurot wanita yang bukan muhrimnya saat wanita  tersebut akan melahirkan  anaknya.

d.      Masholihul Mursalah, yaitu menetapkan suatu hukum terhadap suatu masalah ijtihadiyah atas dasar kepentingan umum. Misalnya: pengenaan pajak terhadap orang-orang kaya.

e.       Istishab, yaitu memutuskan sebuah perkara berdasarkan hukum yang pernah berlaku sebelum ada dalil lain yang mengubah.

f.       Urf, yaitu sesuatu yang sudah biasa dilakukan (tradisi) oleh masyarakat dan dianggab baik sesuai dengan syariat Islam.       

 

B.   HUKUM TAQLIFI

Pengertian.

Hukum taqlifi ialah khitab (titah) Allah SWT atau sabda Nabi Muhammad SAW yang mengandung tuntutan, baik perintah melakukan atau larangan. Hukum taqlifi ada lima bagian yaitu :

1.      Ijab, artinya mewajibkan atau khitab (firman Allah) yang meminta mengerjakan dengan tuntutan yang pasti.

2.      Nadab (anjuran), artinya menganjurkan atau khitab yang mengandung perintah yang tidak wajib dituruti.

3.      Karohah (memakruhkan) yaitu titah/ khitab yang mengandung larangan, tetapi tidak harus dijauhi.

4.      Ibahah (membolehkan), yaitu titah/khitab yang membolehkan sesuatu untuk diperbuat atau ditinggalkan.

5.      Tahrim, artinya larangan atau khitab (firman Allah) yang meminta untuk meninggalkan dengan tuntutan yang pasti.

 

Adapun yang berhubungan dengan hukum taqlifi antara lain :

  1. Mahkum ‘alaihi (yang dikenai hukum) ialah orang mukallaf yakni orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban baginya. Orang gila, orang yang sedang tidur nyenyak, anak yang belum dewasa dan orang-orang yang terlupa tidak dikenai taklif (tuntutan). Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

قَالَ رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

 

Artinya: “Pena itu telah diangkat (tidak dipergunakan untuk mencatat) amal perbuatan 3 orang : (1) orang yang tidur hingga ia bangun, (2) anak-anak hingga ia dewasa dan (3) orang gila hingga ia sembuh kembali”. (Hr. Ashabus Sunan dan Hakim)

Demikian pula orang yang lupa disamakan dengan orang yang tidur yang tidak mungkin mematuhinya apa yang ditaqlifkan.

  1. Hakim (yang menetapkan hukum) ialah Allah SWT dan yang memberitahukan hukum-hukum Allah SWT adalah para rasulNya. Dan sesudah seruan sampai kepada yang di tuju maka syariatnya menjadi hukum.
  2. Mahkum bihi (yang dibuat hukum) yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan (bersangkutan) dengan hukum yang lima yang masing-masing adalah :

1.      Yang berhubungan dengan ijab dinamai wajib.

2.      Yang berhubungan dengan nadab dinamai mandub/sunah.

3.      Yang berhubungan dengan tahrim dinamai haram.

4.      Yang berhubungan dengan karohah dinamai haram.

5.      Yang berhubungan dengan ibahah dinamai mubah.

 

Dari kelima hukum tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1)    Wajib, ialah suatu yang harus dikerjakan dan pelakunya mendapat pahala, bila ditinggalkan maka pelakunya mendapat dosa. Adapun macam-macam wajib adalah sebagai berikut :

Ø  Wajib Syar’i yaitu suatu ketentuan yang apabila dikerjakan mendatangkan pahala dan bila tidak dikerjakan berdosa.

Ø  Wajib Aqli yaitu suatu ketetapan hukum yang harus diyakini kebenarannya karena masuk akal dan rasional.

Ø  Wajib ‘Aini yaitu suatu ketetapan yang harus dikerjakan oleh setiap muslim seperti : sholat 5 waktu, puasa bulan ramadhan, sholat jum’at dan lainnya.

Ø  Wajib kifayah yaitu suatu ketetapan apabila telah dikerjakan oleh sebagian muslim maka muslim yang lain terlepas dari kewajiban, seperti mengurus jenazah.

Ø  Wajib Mu’ayyanah yaitu suatu keharusan yang telah ditetapkan macam tindakannya seperti wajibnya berdiri dalam sholat bagi yang mampu.

Ø  Wajib mutlaq yaitu suatu kewajiban yang tidak ditentukan waktu pelaksanaan-nya, seperti membayar denda sumpah.

Ø  Wajib Aqli Nadzari yaitu kewajiban mempercayai suatu kebenaran dengan memahami dalil-dalilnya atau penelitian yang mendalam, seperti mempercayai eksistensi Allah SWT.

Ø  Wajib Aqli Dharuri yaitu kewajiban mempercayai suatu kebenaran dengan sendirinya tanpa dibutuhkan dalil-dalil tertentu.

2)      Haram, ialah sesuatu yang apabila dilakukan pelakunya mendapat dosa dan bila ditinggalkan  pelakunya  mendapat pahala. Dengan demikian secara sederhana dapat dikatakan bila ditinggalkan perbuatan itu pelakunya akan mendapat pahala dan bila dilaksanakan berdosa. Haram ada dua macam, yaitu:

a. Haram li-dzatihi, yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah, karena bahaya tersebut terdapat pada perbuatan itu sendiri. Sebagai contoh makan bangkai, minum khamr, berzina, dll.
b. Haram li-ghairi/aridhi, yaitu perbuatan yang dilarang oleh syariat dimana adanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri, tetapi perbuatan tersebut dapat menimbulkan haram li-dzatihi. Sebagai contoh jual beli memakai riba, melihat aurat wanita, dll

3)      Mubah, ialah sesuatu yang apabila dilakukan dan ditinggalkan tidak berdosa.    

4)      Sunat atau Mandub, ialah sesuatu yang apabila dikerjakan pelakunya mendapat  pahala dan bila ditinggalkan tak berdosa. Adapun macam-macam suant adalah sebagai berikut :

Ø  Sunat Muakkad yaitu sunat yang sangat dianjurkan, seperti sholat Idhul Fitri dan Idhul Adha.

Ø  Sunat Ghoiru Muakkad yaitu sunat biasa seperti memberi salam.

Ø  Sunat Hae’at yaitu sunat yang sebaiknya dikerjakan seperti mengangkat tangan ketika takbir dalam sholat.

Ø  Sunat Ab’at yaitu perkara-perkara yang kalau terlupakan harus mengganti dengan sujud syahwi.

5)      Makruh, ialah sesuatu yang apabila dikerjakan pelakunya tidak berdosa tetapi bila ditinggalkan  pelakunya mendapat pahala.

 

Kedudukan dan Fungsi  Hukum Taqlifi.

Kedudukan hukum taqlifi dalam Islam adalah untuk mengetahui hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan mukallaf, baik yang menyangkut wajib, sunat, haram, mubah, syah dan tidaknya suatu perbuatan. Disamping itu juga untuk memahami kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalil hukum yakni kaidah-kaidah yang menetapkan dalil hukum. Hukum-hukum tersebut bersumber dari Al-Qur’an, Hadits, Ijmak dan Qias.   

 

A.  MEMBIASAKAN BERPRILAKU SESUAI DENGAN HUKUM ISLAM

Setiap mukallaf dituntut untuk melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah swt dan rasul-Nya serta harus meninggalkan larangan-Nya. Hal ini dapat kita simak melalui firman Allahswt. dalam surat An Nisa’: 59

 

يٰاَيُّهَا الَّدِيْنَ اٰمَنُوْا اَطِيْعُوْا اللهَ وَاَطِيْعُواالرَّسُوْلَ وَأُوْلِي اْلأَمْرِمِنْكُمْ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.

(QS. An Nisa: 59)

 

 

Adapun hal-hal yang hukumnya sunnah, apalagi sunnah muakkad, sedapat mungkin diusahakan untuk diamalkan sebagai tambahan ibadah wajib.Firman Allah swt. menyatakan sebagai berikut :

وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدُ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسٰى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُوْدًا

Artinya:  Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji. (QS. Al Isro’: 79)

 

IBADAH

Ibadah berasal dari kata ‘Abdun yang berarti hamba. Sedangkan arti secara harfiah adalah rasa tunduk, melakukan pengadian (penghambaan), merendahkan diri dan istikhanah. Jadi tugas yang paling esensial dari seorang hamba Tuhan adalah mengabdi dan beribadah kepadaNya. Secara terminologi ibadah ialah usaha mengikuti hukum-hukum dan aturan-aturan Allah SWT serta menjalankannya dalam kehidupan sesuai dengan perintahNya mulai dari aqil baligh sampai meninggal. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Adz-Dzariat : 56

 

وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَ اْلاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنَ

Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (Adz-Dzariat : 56 )

 

Ibadah merupakan bagian integral dari syariah, apapun yang dilakukan manusia harus bersumber dari syaria’ah Allah SWT dan rasulNya.Ibadah tidak hanya sebatas menjalankan rukun Islam tetapi ibadah juga berlaku pada semua aktifitas duniawi yang didasari rasa ikhlas. Oleh karena itu ibadah terdapat 2 klasifikasi yaitu :

1.      Ibadah Khusus (ibadah mahdhah) yaitu ibadah yang langsung berhubungan kepada Allah SWT atau ibadah yang berkaitan dengan arkanul Islam seperti syahadat, sholat, puasa dan haji.

2.      Ibadah Amm/umum (ibadah ghoiru mahdhah) yaitu segala aktivitas yang titik tolaknya ikhlas dan ditujukan untuk mencapai ridho Allah SWT  berupa amal shaleh.

Perbedaan antara ibadah khusus dan umum terletak pada perbedaan sebagaimana dinyatakan dalam ilmu Ushul Fiqh yang berbunyi : Bahwa ibadah dalam arti khusus semuanya dilarang kecuali yang diperintahkan dan di contohkan, sedang ibadah dalam arti umum semuanya dibolehkan kecuali yang dilarang.

Ibadah-ibadah lain yang berhubungan dengan rukun Islam antara lain :

1.      Ibadah badani (fisik) seperti : bersuci yang meliputi ; wudhu, mandi, tayamum, cara menghilangkan najis, istinjak dan semacamnya, adzan, iqomah, I’tikaf, do’a, membaca sholawat, tasbih, istighfar, khitan dan lain-lain.

2.      Ibadah Maliyah (harta) seperti : qurban, aqiqoh, wakaf, fidyah, hibah dan lain-lain.

3.      Muamalah, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan lainnya, seperti: jual beli, dagang, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, syirkah, simpanan, pengupahan, utang-piutang,  wasiat, warisan dan lain-lain.

4.      Munakahat, yaitu peraturan yang mengatur seseorang dengan orang laindalam hubunga berkeluarga. Seperti : pernikahan, perceraian, pengaturan nafkah, penyusuan, pemeliharaan anak, pergaulan suami istri, meminang, khulu’, lian, dzihar, walimah, wasiat dan lain-lainnya.

5.      Jinayat, yaitu pengaturan yang menyangkut pidana, seperti : qishosh, diyat, kifarat, pembunuhan, zina, minuman keras, murtad, khianat dan lainnya.

6.      Siyasah, peraturan yang menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan (politik), diantaranya: ukhuwah (persaudaraan), musyawarah, ‘adalah (keadilan), ta’awun (tolong-menolong), hurriyah (kebebasan), tasamuh (toleransi), takaful ijtimak (tanggung jawab social), zi’amah (kepemimpinan), pemerintahan dan lainnya.

7.      Akhlak, yaitu yang mengatur sikap hidup pribadi. Seperti : syukur, sabar tawadhu’, pema’af, tawakal, istiqomah, saja’ah, birrul walidain dan lainnya.

8.      Peraturan-peraturan lainnya, seperti: makanan, minuman, sembelihan, berburu, nadzar, pemberantasan kemiskinan, pemeliharaan anak yatim, masjid, da’wah dan lainnya.

Adapun hikmah ibadah itu antara lain  sebagai berikut :

1.      Untuk memelihara agama (hifzh ad-din), dengan cara menunaikan arkanul Islam, memelihara agama dari seranga musuh, memelihara jiwa yang fitri sehingga tidak kehilangan esensinya.

2.      Untuk memelihara jiwa (hifzh an-nafs) dengan cara memenuhi hak hidup masing-masing anggota masyarakat sesuai dengan aturan yang berlaku. Oleh karena itu perlu adanya hokum pidana (qishosh) terhadap orang yang melanggar ketentuan ini.(Q.S. Al-Maidah : 32, An-Nisa’ : 93, Al-Isra’ : 31, Al-An’am :151, Al-Baqoroh : 178-179).

3.      Untuk memelihara akal fikiran (hifzh al-‘aql) dengan cara menggunakan akal yang dimilikinya sebagaimana mestinya, seperti memikirkan kekuasaan Allah SWT tentang penciptaan dirinya, alam maupun yang lainnya serta menghindarkan dari perbuatan yang dapat merusak daya fikirnya seperti minum minuman keras, narkoba dan semacamnya. Uraian ini dapat dilihat pada suratAl-Maidah : 90, Yasin : 60-62, Al-Qoshosh : 60, Yusuf : 109 dan masih banyak lagi.

4.      Untuk memelihara keturunan (hifzh an-nasl) dengan cara mengatur pernikahan dan pelarangan pelecehan seksual seperti zina, kumpul kebo, homo seks, lesbian yang semuanya dapat merusak keturunan. Uraian ini dapat dilihat pada surat An-Nur : 2-9, Al-Isro’ : 32, Al-Ahzab : 49, At-Thalaq : 1-7, An-Nisa : 3-4.

5.      Untuk memelihara kehormatan harta benda (hifzh al-‘ird wal amwal) dengan cara mencari rizki yang halaluntuk memenuhi kebutuhan hidup dan mengharamkan segala macam bentuk riba, perampokan, penipuan, pencurian, ghosob dan semacamnya. Rizki yang halal dapat berpengaruh terhadap kebersihan hati dan ikhlas menjalankan ibadah sebaliknya harta yang haram dapat mengakibatkan malas beribadah serta kekotoran hati. Hal ini dapat dilihat dalam surat An-Nur : 19-21, 27-29, Al-Hujurot : 11-12. Al-Maidah : 38-39, Ali Imron : 130 dan Al-Baqoroh : 188, 275-284. 

 

KAMUS ISTILAH

-          Mukallaf                      = muslim yang sudah dikenai kewajiban melaksanakan

   perintah dan menjauhi larangan

-          Hukum syara’              = hukum Islam

-          Jumhur ulama              = golongan terbanyak ulama

-          Muamalah                    = hal-hal yang berhubungan dengan kemasyarakatan

-          Mukallaf                      = orang yang sudah baligh/dewasa yang wajib

   menjalankan hukum agama

-          Rowi                            = orang yang meriwayatkan hadits                  

                                         

PERNIK-PERNIK

 

Mazhab dalam Islam

Berdasarkan aliran dalam Islam yang ada saat ini, secara umum terdapat dua aliran besar yaitu Sunni dan Shiah.  Empat aliran besar (madhab) yang tergolong dalam aliran sunni adalah Madhad Hanafi, Maliki, Hambali, dan Shafi’i.  Sedangkan satu aliran yang terdapat dalam Shiah adalah Madhab Shiah itu sendiri.

Madhad Hanafi dikembangkan oleh seorang ulama dan cendekiawan muslim yaitu Imam Abu Hanifa (80-150 H, atau 702-772M), dan muridnya yang terkenal Abu Yusuf dan Muhammad.  Mereka menekankan pada penggunaan alasan-alasan dan shura atau diskusi kelompok daripada semata-mata mengikuti aturan atau tradisi yang telah ada secara turun temurun.  Madhab ini paling banyak berkembang dan dikuti di India dan Timur Tengah, serta pernah menjadi mdhab resmi yang digunakan di Turki (dinasti ottoman).

Madhab Maliki mengikuti ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh ulama dan cendekiawan muslim Imam Malik (lahir 95H atau 717M) yang menitikberatkan pada praktek-prakte yang diterapkan penduduk di Madinah sebagai suatu bentuk contoh kehidupan Islam yang paling otentik.  Saat ini, ajaran-ajaran Imam Malik atau madhab Maliki paling banyak ditemui hampir di seluruh bagian wialayah muslim di benua Afrika.

Madhab Hambali dikembangkan oleh ulama dan cendekiawan muslim yang bernama Imam Ahmad ibnu Hambali (lahir 164H atau 799M) yang menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi dan ketuhanan serta mengadopsi pandangan yang tegas terhadap hukum.  Saat ini madhab Hambali secara dominan diterapkan di saudi Arabia.

Madhab Shafi’i didirikan oleh seorang ulama dan cendekiawan bernama Imam As-Shafii (lahir 150H atau 772M) adalah merupakan murid dari Imam Malik dan pernah belajar dari beberapa tokoh cendekian muslim yang paling terkemuka pada saat itu.  Imam As-Shafii terkenal karena ke-moderat-annya dan penilaiannya yang berimbang, dan walaupun Beliau menghormati tradisi, Imam As-Shafii mengevalusinya secara lebih kritis dibandingkan dengan Imam Malik.  Para pengikut madhab Shafii secara dominan diikuti oleh umat muslim yang berada di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Madhab Shiah yang dianut oleh sekitar 10% umat muslim saat ini, menurut sebagian cendekiawan lebih diakibatkan sebagai akibat dari pergesekan politik dalam dunia muslim terhadap pendapat bahwa pemimpin umat muslim harus selalu merupakan keturunan dari keluarga Ali, yaitu keponakan dari Rasulullah sekaligus suami dari puteri nabi Fatimah.  Madhab yang masih memiliki sub-madhab (katakanlah seperti itu) seperti Ithna’ashaaris dan Isma’ilis saat ini ditemui secara dominan di negara Iran, serta memiliki pengikut yang juga mayoritas di Iraq, India, dan negara-negara kawasan teluk.

No comments:

Post a Comment

"tanda-tanda manusia berakhlak baik adalah dengan berkata santun"