teks

Selamat Datang di Mitrakerjasmk.blogspot.com sebagai media informasi dan belajar bersama

Thursday, 16 February 2023

Mahabbah, Khauf, Raja’, dan Tawakal

Hakikat Mencintai Allah Swt., Khauf, Raja’, dan Tawakal Kepada-Nya



Setelah mempelajari materi ini, siswa diharapkan kompeten dalam :

  1. Meyakini bahwa iman terdapat banyak cabang-cabangnya.

  2. Membiasakan perilaku cinta kepada Allah Swt., khauf, raja’, dan tawakal kepada-Nya.

  3. Menganalisis cabang iman hakikat mencintai Allah Swt., khauf, raja’, dan tawakal kepada-Nya

  4. Membuat media pembelajaran tentang hakikat mencintai Allah Swt. khauf, raja’, dan tawakal kepada-Nya

Amatilah gambar-gambar di bawah ini, kemudian tulislah makna yang tersirat pada setiap gambar. Kaitkan makna-makna tersebut dengan tema “Hakikat mencintai Allah Swt., khauf, raja’, dan tawakal kepada-Nya”

Menekuni Al-Qur`an sebagai wujud Cinta Kepada Allah Swt.

K.H. M. Munawwir (Krapyak, Yogyakarta) adalah putra dari K.H. Abdullah Rosyad bin K.H. Hasan Basri. Ilmu Al-Qur`an diperoleh dari ayahnya sendiri, kemudian mendalaminya di Makkah dan Madinah melalui Syaikh Abdullah Sanqara, Syaikh Ibrahim Huzaimi, Syaikh Yusuf Hajar, dan beberapa syaikh lainnya. Selama 21 tahun belajar di Makkah dan Madinah, beliau kembali ke Kauman, Yogyakarta pada tahun 1909 M. Selain ahli qira’at sab’ah (tujuh bacaan Al-Qur`an), beliau juga mendalami ilmu lain melalui K.H. Abdullah (Kanggotan, Bantul, Yogyakarta), K.H. Kholil (Bangkalan, Madura), dan K.H. Shalih (Darat, Semarang). Dikisahkan saat baru berusia 10 tahun, beliau belajar kepada K.H. Cholil di Bangkalan, Madura. Suatu ketika, saat akan shalat berjamaah, K.H. Cholil tidak berkenan menjadi imam shalat, sambil berkata: “Seharusnya yang berhak menjadi imam adalah anak ini (sambil menunjuk K.H. M. Munawwir), meskipun masih usia belia, tetapi ahli qiraat.”

Sebagai wujud cinta kepada Allah Swt., beliau menekuni AlQur`an dengan usaha yang amat gigih, yakni sekali khatam dalam 7 hari 7 malam selama 3 tahun, kemudian sekali khatam dalam 3 hari 3 malam selama 3 tahun, kemudian sekali khatam dalam sehari semalam selama 3 tahun, dan membaca Al-Qur`an selama 40 hari berturut-turut.

Beliau selalu menunaikan shalat fardu pada awal waktu diiringi dengan shalat sunah rawatib. Secara rutin setiap setelah ashar dan subuh selalu mewiridkan Al-Qur`an. Setiap satu pekan sekali beliau mengkhatamkan Al-Qur`an, yakni pada hari Kamis sore. Hal ini rutin beliau lakukan sejak usia 15 tahun.

Di pondok pesantren Krapyak Yogyakarta K.H. M. Munawwir fokus mengajarkan Al-Qur`an kepada para santri. Mereka sangat menghormati beliau karena memiliki kewibawaan akhlak dan ilmu yang sangat tinggi. Di antara murid-murid beliau yang meneruskan perjuangan pengajaran Al-Qur`an adalah K.H. Arwani Amin (Kudus, Jawa Tengah), K.H. Badawi (Kendal, Jawa Tengah), Kyai Zuhdi (Nganjuk, Jawa Timur), K.H. Muntaha (Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah), K.H. Murtadla (Buntet, Cirebon, Jawa Barat), K.H. Hasbullah (Wonokromo, Yogyakarta).

Beliau wafat pada hari Jum’at tanggal 11 Jumadil Akhir tahun 1942 M, dimakamkan di pemakaman Dongkelan, sekitar 2 km dari kompleks pesantren Krapyak. Karena banyaknya orang yang bertakziyah, bertindak sebagai imam shalat jenazah secara bergiliran adalah K.H. Manshur (Popongan, Solo, Jawa Tengah), K.H. R. Asnawi (Kudus, Jawa Tengah), dan KH. Ma’shum (Rembang, Jawa Tengah).

Sumber: Manaqibus Syaikh: K.H. M. Moenauwir Almarhum: Pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarya, diterbitkan oleh Majelis Ahlein (Keluarga Besar Bani Munawwir) Pesantren Krapyak, tahun 1975

Tahukah kalian bahwa perilaku manusia merupakan cerminan dari akidahnya? Jika akidah seseorang itu bagus maka akan baik dan lurus pula perilakunya. Sebaliknya apabila akidah seseorang itu rusak, maka buruk pula perilakunya. Oleh karena itu, akidah dan keimanan harus tertanam dalam diri seseorang sejak dini. Seseorang tak akan mampu mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari tanpa ditopang akidah yang lurus.

Penanaman akidah ini merupakan seruan pertama yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. saat mengemban misi kenabian. Akidah merupakan pondasi dan landasan utama dalam membangun peradaban umat Islam. Apabila akidah sudah tertanam dalam diri seseorang maka akan membuahkan sikap dan perilaku positif dalam kehidupan sehari-hari. Hingga ia menjadi manusia agung dengan keberanian, kemuliaan, dan toleran terhadap sesama. Simaklah Q.S. Ibrahim/14: 24-25 berikut ini!

Artinya:

“Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit (24). (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat (25).” (Q.S. Ibrahim/14: 24-25)

Iman bagaikan pohon yang buahnya tak pernah berhenti, dan setiap saat bisa dipetik untuk dinikmati. Apabila seorang mukmin telah mampu mencerminkan dirinya seperti pohon di atas, maka setiap saat ia selalu beramal saleh. Oleh karena itu di dalam Al-Qur`an banyak ayat tentang iman dan amal saleh. Amal saleh merupakan salah satu buah keimanan dan merupakan dampak positif di antara dampak keimanan seseorang.

Iman pada umumnya telah kita ketahui pada rukun iman, Rosulullah SAW. bersabda; "Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan 'Laa Ilaaha Illallaah' (Tauhid), dan yang paling rendah adalah menyngkirkan duri (gangguan) dari jalan. dan malu adalah salah satu cabang dari iman (H.R. Bukhari dan Muslim)

Cabang - cabang iman memiliki banyak tingkatan, ada yang tinggi dan ada yang rendah. Setiap cabang iaman merupakan sebuah amalan yang harus diterapkan bagi setiap muslim. Iman terdiri dari 77 cabang, apabila 77 cabang iman dikerjakan seluruhnya, maka akan sempurna imannya. Empat cabang iman di antara 77 cabang iman tersebut adalah mahabbah, Khauf, raja, dan tawakal.

1. Hakikat Mencintai Allah Swt (Mahabbah).

Mahabbah memiliki arti mencintai Allah. Mencintai menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah menaruh kasih sayang kepada, menyukai. Dalam pandangan sufi mencintai Allah SWT., atau Mahabbah berarti patuh kepada Allah SWT., sekaligus membenci sikap yang melawan kepadanya.

Cinta adalah perasaan yang suci dan lembut berupa rasa kasih sayang. Perasaan cinta ditandai dengan rasa rindu kepada yang dicintai. Tingkatan cinta tertinggi dan hakiki adalah cinta kepada Allah Swt. Cinta kepada Allah Swt. (mahabbatullah) berarti menempatkan Allah Swt. dalam hati sanubari. Cinta merupakan unsur terpenting dalam ibadah, di samping khauf (takut) dan raja’ (berharap). Ketiganya menjadi perasaan hati yang harus dimiliki setiap mukmin dalam melaksanakan ibadah kepada Allah Swt.

Cinta seseorang kepada Allah tumbuh dari pengaruh akal dan jiwa yang kuat akibat berpikir mendalam terhadap kekuasaan-Nya di langit dan bumi. Cinta ini akan semakin menggelora dengan merenungkan ayat-ayat Al-Qur`an dan membiasakan diri berzikir dengan nama dan sifat-sifat Allah Swt.

Seseorang tidak akan memperoleh kesempurnaan iman tanpa mengenal keagungan Allah Swt., merasakan kebaikan dan ketulusan Allah, dan mengakui nikmat-nikmat-Nya. Allah Swt. telah menetapkan cinta kepada orang-orang beriman sebagaimana irman-Nya dalam Q.S. al-Baqarah/2: 165 berikut ini:

Artinya:

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zalim itu melihat, ketika mereka melihat azab (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya (niscaya mereka menyesal).” (Q.S. al-Baqarah/2: 165)

Ketika cinta seseorang kepada Allah Swt. mengakar kuat dalam jiwanya, maka akan berpengaruh terhadap seluruh kehidupannya. Segala sesuatu akan terasa indah karena adanya rasa cinta kepada Allah Swt. Seseorang yang cinta kepada Allah Swt. akan merasakan manisnya iman, sebagaimana hadis berikut ini.

Artinya:

“Dari Anas r.a. dari Nabi Saw., beliau bersabda: ’Ada tiga hal di mana orang yang memilikinya akan merasakan manisnya iman yaitu: mencintai Allah dan rasul-Nya melebihi segala-galanya, mencintai seseorang karena Allah, dan enggan untuk kembali kafir setelah diselamatkan oleh Allah daripadanya sebagaimana enggannya kalau dilemparkan ke dalam api.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Saw. telah menyalakan api cinta pada hati para sahabatnya hingga mereka lebih mencintai Allah Swt. daripada mencintai diri sendiri dan keluarganya. Para sahabat Nabi rela mengorbankan jiwa demi cintanya kepada Allah Swt. Cinta kepada Allahlah yang menjadikan para sahabat meninggalkan kenikmatan duniawi demi meraih kebahagiaan di akhirat.

Macam - Macam Cinta (Mahabbah)

Menurut Ibnu Taimiyah menyebutkan beberapa macam bentuk cinta dan konsekuensinya, antara lain sebagai berikut:

a) Mahabbah al-Ibadah (Cinta sebagai ibadah)

Maksudnya cinta sebagai bentuk penghambban diri, pengagungan kepada kepada Allah SWT.,mencintai sepenuh hati karena mengagungkan apa yang dicintai dan menjalankan perintahnya serta menjauhi larangan-Nya. Cinta jenis ini merupakan dasar keimanan dan tauhid.

b) Mahabbatullah (Mencintai Allah SWT)

Mencintai Allah SWT., beratti selalu menempatkan Allah SWT., disegala perbuatan atau tindakan. Adapun wujud dari mencintai Allah SWT., yaitu dengan bertakwa kepada-Nya (emnajalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya)

c) Al-Mahabbah al-Tabi'iyah (Cinta alamiyah/natural)

Adapun yang termasuk dalam cinta jenis ini antara lain seperti;

  1. Kasih sayang, seperti kasih sayang antara orang tua kepada anaknya, kasih sayang kepada orang-orang yang sedang sakit, dan kasih sayang kepada kaum lemah (dhuafa).

  2. Cinta untuk penghormatan bukan karena ibadah(bukan untuk menyembah), seperti kecintaan anak kepada orang tua, kecintaan murid kepada guru, dan sejenisnya.

  3. Mencintai sesuatu yang menyenangkan/memuaskan, seperti mencintai makanan, minuman, pakaian, teman dan sejenisnya.

Tanda-Tanda Cinta kepada Allah Swt.:

a) Mencintai Rasulullah Saw.

Di antara tanda seseorang mencintai Allah Swt. adalah adanya rasa cinta kepada rasul-Nya. Simaklah Q.S. Ali Imran/3: 31 berikut ini!

Artinya:

“Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S. Ali Imran/3: 31)

Ayat di atas dipertegas lagi dengan sebuah hadis nabi berikut ini!

Artinya:

“Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Demi dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga aku lebih dicintai daripada orang tuanya dan anaknya”. (HR. Bukhari).

b) Mencintai Al-Qur`an

Seseorang yang cinta kepada Allah Swt. dan rasul-Nya pasti akan cinta kepada Al-Qur`an. Dengan demikian ia akan selalu membaca dan mengamalkan isinya dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur`an diturunkan oleh Allah Swt. kepada Rasulullah Saw. melalui malaikat Jibril a.s. Sehingga kecintaan kepada Al-Qur`an akan menumbuhkan rasa cinta kepada Rasulullah Saw. sebagai penerima wahyu Allah Swt. Mencintai Rasulullah Saw. berarti pula mencintai sunah-sunahnya.

c) Menjauhi perbuatan dosa

Rasa cinta kepada Allah Swt. akan menjadikan seseorang selalu berusaha untuk menghindari perilaku dosa dan maksiat. Mereka selalu taat kepada perintah-Nya dengan ketaatan yang murni. Perilaku dosa akan menjauhkan hamba dari Tuhannya, sedangkan ketaatan akan mendekatkan diri kepada Tuhannya. Di samping itu, seseorang yang cinta kepada Allah Swt. akan selalu memperbanyak berzikir kepada-Nya. Mereka akan selalu menyebut nama-Nya pada setiap kesempatan. Hatinya bergetar tatkala disebut nama Allah Swt., dan bertambah imannya saat melihat tanda-tanda kebesaran-Nya.

d) Mendahulukan perkara yang dicintai oleh Allah Swt.

Apapun yang dicintai oleh Allah Swt. akan lebih diutamakan oleh seseorang yang mencintai Allah Swt. Mereka tidak mempedulikan lagi kepentingan dan urusan pribadi atau pun keinginannya. Cintanya kepada Allah Swt. mewujudkan pengorbanan yang mengagumkan. Keikhlasan hati orang-orang yang cinta kepada Allah Swt. berbuah amal kebaikan pada seluruh aktivitas kehidupannya. Mereka merasa ringan untuk meninggalkan semua urusan, demi melaksanakan perintah Dzat yang ia cintai.

e) Tak gentar menghadapi hinaan

Kecintaan seseorang kepada Allah Swt. akan menjadikannya semakin teguh dalam mengamalkan ajaran Islam. Ia tak menghiraukan hinaan, cemoohan dan ujaran kebencian dari orang yang benci kepadanya. Kekuatan cinta membuatnya kuat menghadapi berbagai macam hujatan. Inilah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dalam menghadapi kaum musyrikin. Semua hinaan yang ditujukan kepada Nabi Saw. tak menyurutkan langkah untuk tetap melanjutkan dakwah.

Cara Meningkatkan Cinta kepada Allah Swt.

Ada beberapa cara untuk meningkatkan cinta kepada Allah Swt., di antaranya:

1) Memahami besarnya cinta Allah Swt. kepada hamba-Nya

Untuk meningkatkan rasa cinta kepada Allah Swt. dapat dilakukan dengan cara memahami betapa besarnya cinta Allah Swt. kepada hamba-Nya. Allah Swt. tak pernah berhenti memberikan nikmat kepada seluruh hamba-Nya. Oksigen, sinar matahari, air, tanah, dan sumber daya alam di bumi ini selalu disediakan oleh Allah Swt. bagi hamba-Nya tanpa terkecuali, baik mukmin ataupun tidak. Meskipun manusia berbuat dosa dan maksiat, tetap saja diberi nikmat-nikmat tersebut. Terlebih bagi seorang mukmin, tentu kenikmatan tersebut akan menjadikannya semakin bersyukur kepada-Nya. Hal ini merupakan bukti bahwa Allah Swt. mencintai hamba-Nya.

2) Senantiasa membersihkan hati

Ada segumpal daging pada diri manusia, jika ia baik maka baik pula seluruh jasadnya, sebaliknya jika ia buruk maka buruk pula seluruh jasadnya. Segumpal daging itu adalah hati. Hati akan menjadi bersih jika diisi dengan cinta kepada Allah Swt., melakukan perintah dan menjauhi perintah-Nya. Lebih dari itu, agar hati tetap bersih maka seseorang harus membiasakan diri membaca istigfar dan bertaubat kepada Allah Swt. Karena tak ada yang tahu kapan maut akan menjemput. Dengan selalu mengingat kematian, maka manusia akan terhindar dari sifat rakus terhadap duniawi.

3) Mempelajari ilmu agama secara mendalam

Seseorang yang memahami ilmu agama secara luas dan mendalam akan menjadikannya semakin cinta kepada Allah Swt. Dari cahaya ilmu tersebut terpancar kebesaran dan keagungan Allah Swt. Tumbuh kekaguman kepada pencipta alam semesta berserta isinya. Mereka akan merasa rendah diri di hadapan Allah Swt., lunturlah sifat sombong dan merasa hebat, karena menyadari betapa lemahnya manusia.

Hikmah Mencintai Allah SWT

Mahabbatullah termasuk anugrah yang paling agung. Banyak hikmah yang terdapat dari Mahabbatullah, antara sebagai berikut:

  1. Mahabbatullah merupakan dasar dan jiwa (ruh) tauhid. Syekh Abdurrahman bin sa'di berkata: "Dasar dan ruh tauhid adalah mengikhlaskan mahabbah kepada Allah SWT., semata. ia adalah dasar dari ta'abbud, bahkan ia merupakan hakikat ibadah, dimana tauhid tidak akan sempurna sebelum mahbbahnya kepada Allah SWT menjadi sempurna, mengalahkan semua jenis mahabbah yang lain, menjadikan sebagai penentu, dimana seluruh jenis mahhabbah seorang hamba mengikuti mahbbah ini, yang merupakan sumber kebahagiaan seorang hamba.

  2. Cinta kepada Allah SWT merupakan pendorong kuat meninggalkan maksiat. Ibnul Qoyim tentang Mahabbatullah: "ia merupakan penyebab terkuat dalam menahan kesabaran untuk bermaksiat, karena seorang pencinta itu taat kepada yang dicintainya, semakin kuat energi cinta didalam hati, semakin kuat pula doronganya untuk taat dan meningggalkan maksiat." sesungguhnya kemaksiatan itu terlahir karena lemahnya energi cinta.

  3. Cinta kepada Allah dapat menghilangkan keraguan. Ibnul Qoyim berkata: "Antara cinta dan keraguan itu berlawanan, sebagaimana "ingat" dan "lalai".

  4. Cinta kepada Allah SWT., sebagai kesempurnaan kenikmatan dan puncak kebahagiaan. Seseorang tidak akan mendapatkan kenikmatan yang smepurna jika ia tidak cinta kepada Allah SWT.

Bersama anggota kelompokmu, buatlah kata-kata mutiara untuk mengungkapkan cinta kepada Allah Swt. dan rasul-Nya! Kemudian dipresentasikan di depan kelas dan di unggah ke medsos kamu!

2. Hakikat Takut kepada Allah Swt. (Khauf)

A. Pengertian

Takut yang dimaksud adalah takut kepada Allah SWT. Dalam Islam takut kepada Allah disebut Khauf. takut menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang akan mendatangkan bencana.

Takut kepada Allah SWT,. adalah persaan takut yang ada dalam diri seseorang akan adanya siksa dan merasa bersalah akibat maksiat yang sudah diperbuat, sehingga menimbulkan kekhawatiran dalam diri jika Allah SWT., tidak senang kepada-Nya

Rasa takut merupakan sifat orang bertaqwa, sekaligus merupakan bukti iman kepada Allah Swt. Rasa takut ini akan semakin meningkat seiring meningkatnya pengetahuan tentang Rabb-nya. Secara tegas, Allah Swt. memerintahkan orang beriman agar takut kepada-Nya. Hal ini sesuai dengan irman Allah Swt. dalam Q.S. al-Hajj/22: 1-2 berikut ini

Artinya:

“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu; sungguh, guncangan (hari) Kiamat itu adalah suatu (kejadian) yang sangat besar.” (1) (Ingatlah) pada hari ketika kamu melihatnya (goncangan itu), semua perempuan yang menyusui anaknya akan lalai terhadap anak yang disusuinya, dan setiap perempuan yang hamil akan keguguran kandungannya, dan kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, tetapi azab Allah itu sangat keras.”(2) (Q.S. al-Hajj/22: 1-2)

Secara tegas ayat di atas menyeru kepada manusia agar takut terhadap siksa Allah Swt. Ada beberapa lafaz ang maknanya berdekatan dengan al-khaufu/ diantaranya adalah Al-khaufu artinya rasa takut, sedih dan gelisah ketika terjadi sesuatu yang tidak disenangi. Al-huznu adalah rasa sedih dan gelisah yang disebabkan oleh hilangnya sesuatu yang bermanfaat atau mendapatkan musibah. Ar-rahbu merupakan padanan kata (sinonim) dari kata al-khaufu. Sedangkan al-khasyatu adalah rasa takut yang diiringi dengan pengagungan atas sesuatu yang ditakuti tersebut.

Kata khauf secara etimologis berarti khawatir, takut, atau tidak merasa aman. Hal ini tertuang dalam Q.S. as-Sajdah/32:16

Artinya:

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”

Takut kepada Allah Swt. merupakan bukti seorang hamba mengenalNya. Rasa takut tersebut akan semakin bertambah seiring bertambahnya pengetahuan hamba terhadap Rabb-nya.

Abu Hafs Umar bin Maslamah al-Haddad an-Naisaburi Al-Hadad An-Naisaburi: Khouf adalah pelita hati yang dengannya seseorang dapat melihat adanya kebaikan dan keburukan. Setiap orang yang kamu takuti, kamu akan lari darinya, kecuali Allah. Jika kamu takut kepada Allah kamu lari mendekati-Nya, sehingga orang yang takut kepada Tuhanya akan lari mendekatinya.

Menurut Ibrahim bin Sufyan: "Jika khauf merasuki hati, maka akan membakar semua titik syahwat dan menolak gemerlapnya dunia." Manusia tetap berada dijalan Allah SWT., selama masih ada khauf, jika hilang khauf maka sesatlah jalannya.

Diriwayatkan dari Umar, dari Zaid bin Aslam: terdapat seseorang laki-laki dari umat terdahulu yang giat beribadah akan tetapi semua ibadah yang ia lakukan tidak mengharap rahmat dari Allah SWT. Ketika laki-laki tersebut wafat, ia bertanya kepada kepada Allah SWT. : "Ya Tuhanku, apakah bagianku di sisi-Mu? Allah berfirman: "Bagianmu adalah neraka!" Laki-laki tersebut berkata, "Wahai Tuhanku, dimanakah ibadah dan kegiatanku?" Allah berfirman: "Engkau adalah orang yang tidak mengharap rahmat-Ku di dunia, maka hari ini putus sudah rahmat-Ku."

Rasa takut kepada Allah Swt. harus diikuti dengan ketaatan dan amal saleh. Dengan amal saleh inilah seorang mukmin berharap mendapatkan balasan berupa surga. Rasulullah Saw. melarang umatnya mencemooh sekecil apa pun amal kebaikan. Karena ukuran diterima atau tidaknya amal kebaikan adalah keikhlasan dalam hati. Sedangkan yang tahu isi hati seseorang hanyalah Allah Swt. Seorang mukmin harus berusaha menghindari api neraka dengan amalamal saleh, salah satunya dengan bersedekah. Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Artinya:

“Dari ‘Ady bin Hatim r.a. berkata: Saya mendengar Nabi Saw. bersabda: takutlah kamu sekalian terhadap api neraka walaupun hanya bersedekah dengan separuh biji kurma.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sedekah merupakan salah satu amal saleh yang akan menyelamatkan dari api neraka. Sedekah itu dilihat dari tingkat keikhlasannya, bukan banyak sedikitnya nilai ekonomi dari sedekah tersebut. Tidak ada yang tahu melalui kebaikan manakah rida Allah Swt. akan diperoleh. Seorang muslim harus memiliki komitmen untuk selalu ikhlas dalam bersedekah. Tidak kikir menyedekahkan hartanya yang besar nilainya, dan tidak lambat untuk bersedekah dengan sesuatu yang kecil nilainya. Bisa jadi Allah Swt. rida atas sedekah dari seseorang karena dilandasi oleh rasa takut dan ikhlas, meskipun ia bersedekah dengan separuh biji kurma.

B. Macam - Macam Khauf

Menurut Imam al-Ghazali, takut kepada Allah Swt. dapat berupa:

  1. rasa takut tidak diterimanya taubat,

  2. takut tidak mampu istikamah dalam beramal saleh,

  3. takut akan mengikuti hawa nafsu,

  4. takut tertipu oleh gemerlap duniawi,

  5. takut terperosok dalam jurang maksiat,

  6. takut atas siksa kubur,

  7. takut terjebak pada kesibukan yang melalaikan dari Allah Swt.,

  8. takut menjadi sombong karena memperoleh nikmat dari Allah Swt.,

  9. takut mendapatkan siksaan di dunia, dan

  10. takut tidak mendapatkan nikmat surga.

Adanya sifat khauf ini akan menjadi benteng penahan agar manusia tetap rendah hati dan tidak takabbur.

Ibnu Taimiyah membagi rasa takut (khauf) kedalam beberapa bagian, antara lain sebagai berikut:

  1. Takut yang tersembunyi

  2. Maksudnya adalah rasa taku dalam beribadah dan bertaqarub. Rasa takut ini mampu menjauhkan seseorang dari perbuatan maksiat, karena takut akan datangnya murka, kematian, atau ditariknya kenikmatan, dan sejenisnya atas kehendak yang ditakuti.

    Rasa takut yang demikian hanya boleh untuk Allah SWT., semata, karena takut yang demikian termasuk bentuk ibadah, bahkan termasuk rukun ibadah. Jika seseorang memiliki rasa takut jenis ini dan hanya ditujukan kepada Allah SWT., ia dianggap sebagai seorang hamba yang Mukhlis dan muwahhid (Mengesakan Allah). Namun jika rasa takut ini ditujukan kepada selain Allah SWT., maka ia telah menyekutukan Allah dalam bentuk al-syirk al-akbar (Syirik besar)

  3. Takut dari ancaman Allah

  4. Maksudnya adalah rasa takut kepada ancaman Allah SWT., terhadap pelaku maksiat.

  5. Takut yang dilarang

  6. Mkasudnya adalah seorang hamba yang meninggalkan kewajiban tanpa adanya alasan yang jelas, hanya karena takut kepada sesama manusia.

  7. Takut yang alami/wajar/natural

  8. Maksudnya adalah rasa takut yang wajar, seperti takut kepada hewan buas, takut tenggelam, takut kepada musuh yang akan mecelakai dirinya, dan takut kepada hal-hal sejenis yang mengandung bahaya secara lahir. Rasa takut tersebut merupakan rasa takur yang wajar dan manusiawi, bahkan para Nabi sekalipun mengalaminya, seperti ayat berikut.

    Artinya

    ".... dia berdoa, "Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu" (QS. Al Qasas:21)

  9. Takut yang tidak berlasan/berlebihan (paranoid)

  10. Maknanya adalah rasa takut yang berlebihan dan tanpa alasan yang jelas. Takut jenis ini termasuk takut yang tercela, dan orang yang memiliki jneis ini, jenis ini disebut jubn (penakut/pengecut), dimana Nabi berlindung dari sifat ini jubn dalam doanya.

    Semakin besar rasa takutnya kepada Allah SWT., tingkat keimanan seseorang semakin tinggi. Sebaliknya, semakin kecil rasa takutnya kepada Allah SWT,. tingkat keimanan seseorang semakin rendah.

3. Hakikat berharap kepada Allah Swt. (Raja’)

A. Pengertian

Secara etimologis, raja’ berarti mengharap sesuatu atau tidak putus asa. Menurut istilah, raja’ berarti berharap untuk memperoleh rahmat dan karunia Allah Swt. Firman Allah Swt. dalam Q.S. al-‘Ankabut/29: 5 berikut ini.

Artinya:

“Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah pasti datang. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Q.S. al-‘Ankabut/29: 5)

Sifat raja’ ini harus disertai optimis, perasaan gembira, sikap percaya dan yakin akan kebaikan Allah Swt. Lebih dari itu sifat raja’ harus dibarengi dengan amal-amal saleh untuk meraih kebahagiaan di akhirat. Seseorang yang berharap kepada Allah Swt. tanpa diikuti dengan amal, maka ia hanya berangan-angan belaka.

Kebalikan dari sifat raja’ adalah putus asa dari rahmat Allah Swt. Seseorang yang putus asa atas rahmat Allah Swt. dikategorikan sebagai orang sesat, sebagaimana irman Allah Swt. dalam Q.S. al-Hijr/15: 55-56 berikut ini

Artinya:

“(Mereka) menjawab, “Kami menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah engkau termasuk orang yang berputus asa.” (55) Dia (Ibrahim) berkata, “Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang yang sesat.” (56). (Q.S. al-Hijr/15: 55-56)

Salah satu penyebab munculnya sifat putus asa dari rahmat Allah Swt. adalah tidak memahami bahwa rahmat Allah Swt. sangat luas bagi hambaNya. Perhatikan hadis berikut ini!

Artinya:

“Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah Saw. bersabda: “Ketika Allah menciptakan makhluk, Ia menulis pada suatu kitab, yang mana kitab itu berada disisi-Nya di atas ‘Arsy, yaitu tulisan yang berbunyi: “Sesungguhnya rahmat-Ku itu mengalahkan murka-Ku”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Ketika seseorang memiliki sifat raja’ maka ia akan bersemangat untuk menggapai rahmat Allah Swt. karena Dia memiliki sifat Maha Pengampun, Maha Pengasih dan Penyayang. Meskipun bergelimangan dosa, rasa optimis mendapat ampunan Allah Swt. tetap ada dalam hatinya. Namun perlu diingat bahwa sifat raja’ ini harus bersanding dengan sifat khauf. Menurut Abu ‘Ali alRawdzabari, antara khauf dan raja’ ibarat dua sayap burung. Jika kedua sayap tersebut sama, maka burung tersebut akan mampu terbang secara sempurna. Namun jika kurang, maka terbangnya juga kurang sempurna. Dan jika salah satu sayap itu hilang, maka burung itu tak akan bisa terbang. Apabila kedua sayapnya hilang, maka tak butuh waktu lama burung itu akan mati.

Sifat khauf dapat mencegah seseorang berbuat dosa, sedangkan raja’ dapat mendorong untuk taat kepada Allah Swt. Imam al-Ghazali pernah ditanya, manakah yang lebih utama di antara sifat khauf dan raja’? Beliau balik bertanya, manakah yang lebih nikmat, air ataukah roti? Bagi orang yang kehausan, air lebih tepat. Namun bagi yang sedang lapar, roti lebih lebih tepat. Jika rasa dahaga dan lapar hadir bersamaan dengan kadar yang sama, maka air dan roti perlu dikonsumsi bersama-sama. Apabila hati seseorang ada penyakit merasa aman dari azab Allah Swt., maka obatnya adalah khauf. Sedangkan apabila hati seseorang ada penyakit merasa putus asa, maka obatnya adalah raja’.

Jika sifat khauf dan raja’ ini melekat pada diri seseorang maka ia tak akan mudah menghakimi orang lain, sebab semua keputusan ada di tangan Allah Swt. Misalnya, ketika melihat orang yang ahli maksiat, tidak boleh divonis pasti masuk neraka, bisa jadi dalam hatinya ada harapan Allah Swt. akan mengampuninya, hingga Allah Swt. memasukkannya ke surga. Sebaliknya, seseorang rajin ibadah bisa jadi masuk neraka, karena ada sifat sombong dalam hatinya.

B. Cara Menumbuhkan Sifat Raja'

Sifat raja’ akan tumbuh pada diri seseorang dengan melakukan hal-hal berikut ini:

  1. Muhasabah atas nikmat-nikmat Allah Swt.

  2. Muhasabah atas nikmat-nikmat Allah Swt. berarti mawas diri atas apa yang telah diperbuat sebagai ungkapan syukur kepada Allah Swt. Tak ada manusia yang sanggup menghitung nikmat Allah Swt. Sifat raja’ akan muncul pada diri seseorang yang hatinya dipenuhi rasa syukur kepada Allah Swt.

  3. Mempelajari dan memahami Al-Qur`an

  4. Al-Qur`an merupakan kalamullah yang syarat dengan ilmu. Di dalamnya terkandung hikmah dan pelajaran bagi siapa saja yang ingin mengambilnya. Setiap ayat dan surat Al-Qur`an berisi pesan-pesan moral dari Allah Swt. kepada seluruh umat manusia. Dengan mempelajari dan memahaminya secara mendalam maka akan tumbuh sifat raja’.

  5. Meyakini kesempurnaan karunia Allah Swt.

  6. Sifat raja’ akan tumbuh pada diri seseorang apabila ia meyakini bahwa Allah Swt. telah memberikan karunia sempurna kepadanya. Allah Swt. telah memberikan rejeki yang cukup bagi semua makhluk ciptaan-Nya. Tak ada satupun makhluk di dunia ini yang sia-sia, pasti bermanfaat bagi kehidupan manusia.

C. Manfaat Sifat Raja’

Seseorang yang memiliki sifat raja’ akan memperoleh banyak manfaat, di antaranya adalah:

  1. Semangat dalam ketaatan kepada Allah Swt.

  2. Manusia akan selalu dijerumuskan oleh setan ke jalan sesat. Setan akan mencegah seseorang yang berniat untuk berbuat baik. Apabila ia mampu melawan bisikan setan dan berhasil melakukan amal kebaikan, maka setan akan berusaha menghembuskan sifat riya’ dan takabbur ke dalam hatinya. Allah Swt. akan menurunkan rahmat-Nya kepada seseorang yang taat kepada-Nya.

  3. Tenang dalam menghadapi kesulitan

  4. Hidup di dunia ini penuh dengan ujian dan cobaan. Semakin tinggi ilmu dan iman maka semakin berat pula cobaan yang diterima. Allah Swt. hendak memberikan pahala bagi hamba-Nya yang sedang diuji tersebut. Bagi seorang mukmin, kesulitan dihadapi dengan sabar dan harapan kepada Allah Swt. Dan ketika menerima nikmat, ia bersyukur kepada Allah Swt.

  5. Merasa nikmat dalam beribadah kepada Allah Swt.

  6. Apabila seseorang benar-benar mencintai sesuatu, maka ia akan merasa ringan dalam menghadapi kesulitan dan rintangan. Ibarat peternak lebah yang berjibaku memanen madu di sarang lebah, ia tak menghiraukan ancaman sengatan lebah karena ingat manfaat dan manisnya madu. Begitu pula seseorang yang rajin beribadah, ia hanya fokus pada kenikmatan surga, bukan pada beban berat dan kesulitan ibadah tersebut.

  7. Menumbuhkan sifat optimis

  8. Harapan kepada Allah Swt. disertai ketundukan hati akan menjadikan seseorang optimis menghadapi cobaan hidup. Allah Swt. tidak akan membebani hamba-Nya di luar batas kemampuannya. Semua cobaan dan ujian dari Allah Swt. pasti ada jalan penyelesaiannya. Dan rahmat Allah Swt terhampar sangat luas bagi seluruh hamba yang memohon kepada-Nya.

4. Hakikat Tawakal Kepada Allah Swt.

A. Pengertian

Secara Bahasa: tawakal berarti memasrahkan, menanggungkan sesuatu, mewakilkan atau menyerahkan. Secara Istilah; tawakal artinya menyerahkan segala permasalahan kepada Allah Swt. setelah melakukan usaha sekuat tenaga. Seseorang yang bertawakal adalah seseorang yang mewakilkan atau menyerahkan hasil usahanya kepada Allah Swt.Sifat Ini merupakan bentuk kepasrahan kepada-Nya sebagai dzat yang Maha kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada rasa sedih dan kecewa atas keputusan yang diberikan-Nya.

Rasulullah Saw. menganjurkan umatnya untuk selalu menerapkan sikap tawakal dalam kehidupan sehari-hari. Sikap ini pula yang diajarkan kepada para sahabat Nabi Saw. Para sahabat Nabi terbiasa bersikap tawakal dalam menghadapi permasalahan hidup. Ini menjadi bukti keberhasilan Nabi dalam memberikan contoh perilaku hidup yang dihiasi dengan tawakal. Rasulullah Saw. selalu pasrah kepada Allah, tidak ada rasa khawatir dan gelisah dalam menghadapi berbagai macam permasalahan.

Sebagian orang keliru dalam memahami sikap tawakal. Mereka pasrah secara total kepada Allah Swt., tanpa ada ikhtiar terlebih dahulu. Mereka berpikir tak perlu bekerja, jika dikehendaki oleh Allah Swt. menjadi kaya maka pasti akan kaya. Mereka tak mau belajar, jika Allah Swt. menghendaki menjadi pintar maka pasti pintar, demikian seterusnya. Inilah sikap keliru yang harus ditinggalkan.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya,

“Dari Umar r.a. berkata: “Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda: ‘Seandainya kamu sekalian benar-benar tawakal kepada Allah niscaya Allah akan memberi rejeki kepadamu sebagaimana Ia memberi rejeki kepada burung, di mana burung itu keluar pada waktu pagi dengan perut kosong (lapar)dan pada waktu sore ia kembali dengan perut kenyang.” (HR. Turmudzi).

Tawakal bukan berarti menyerahkan nasib kepada Allah Swt. secara mutlak. Akan tetapi harus didahului dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh. Dikisahkan, ada sahabat Nabi Saw. datang menemui beliau tanpa terlebih dahulu mengikat untanya. Saat ditanya, sahabat tersebut menjawab: ’Aku tawakal kepada Allah Swt.”. Kemudian Nabi Saw. meluruskan kesalahan dalam memahami makna tawakal tersebut dengan bersabda”: ’Ikatlah terlebih dahulu untamu, kemudian setelah itu bertawakallah kepada Allah Swt.”

Seseorang yang menerapkan sikap tawakal akan tumbuh keyakinan bahwa tidak ada satu pun amal kebaikan yang sia-sia. Urusan diterima atau ditolaknya amal merupakan hak penuh Allah Swt., tugas seorang hamba hanya beramal sebaik-baiknya. Meskipun harapan atas amal kebaikan tersebut belum tercapai secara sempurna, ia tetap memiliki semangat.

B. Macam - Macam Tawakal

Perbuatan tawakal mencakup tiga macam, antara lain sebagai berikut:

  1. Jalbun Nafi, yaitu melakukan pekerjaan yang menjadi sebab kedatangan manfaat. Contohnya : rajin belajar agar menjadi pintar.

  2. Qotul Adza, yaitu melenyapkan atau menghilangkan hal-hal yang dapat merusak kemanfaatan yang ada. Contoh; Meminum obat dokter untuk menghilangkan sakit yang diderita.

  3. daf'ul Madarat, yaitu menolak kedatangan hal - hal yang dapat merusak kemanfaatan yang ada. Contoh; Mengusir atau menghalau kucing masuk kerumah karena di dalam rumah ada ikan di meja makan.

C. Manfaat Tawakal

Banyak manfaat yang akan diperoleh dari penerapan sikap tawakal dalam kehidupan sehari-hari, di antaranya:

  1. Tercukupinya semua keperluan

  2. Mudah untuk bangkit dari keterpurukan

  3. Tidak bisa dikuasai oleh setan

  4. Memperoleh nikmat yang tiada henti

  5. Menghargai hasil usaha

D. Prilaku yang mencerminkan Tawakal

Adapun contoh prilaku yang mencerminkan sikap tawakal, antara lain sebagai berikut:

  1. Setelah berikhtiar, menyerahkan hasilnya kepada Allah SWT.

  2. Berdoa agar mendapatkan yang terbaik.

  3. Memiliki jiwa yang tenang dan kedamaian hati sebab semua yang terjadi atas takdir Allah SWT.

  4. Bersikap gigih dan ulet dalam berusaha.

  5. Senantiasa bersikap husnudhan kepada Allah SWT.

A. Tugas Belajar Siswa

    Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan jawaban yang benar! :
  1. Akidah dan perilaku memiliki hubungan yang saling terkait satu sama lain. Perilaku manusia merupakan cerminan dari akidah dan keimanannya. Oleh karena itu, akidah dan keimanan harus tertanam dalam diri seseorang sejak dini. Bagaimana cara menanamkan akidah dalam diri seseorang sejak usia dini?

  2. Cinta seseorang kepada Allah tumbuh dari pengaruh akal dan jiwa yang kuat akibat berpikir mendalam terhadap kekuasaan-Nya di langit dan bumi. Cinta ini akan semakin menggelora dengan merenungkan ayat-ayat AlQur`an dan membiasakan diri berzikir dengan nama dan sifat-sifat Allah Swt. Mengapa seorang hamba harus memiliki rasa cinta kepada Allah Swt.?

  3. Seseorang yang cinta kepada Allah Swt. memiliki tanda-tanda tertentu, di antaranya terungkap dalam Q.S. Ali Imran/3: 31 berikut ini:

    Jelaskan tanda-tanda cinta kepada Allah Swt. sesuai kandungan ayat tersebut!

  4. Rasa takut merupakan sifat orang bertaqwa, sekaligus merupakan bukti iman kepada Allah Swt. Rasa takut ini akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan tentang Rabb-nya. Sebutkan macammacam rasa takut menurut menurut Imam al-Ghazali!

  5. Ketika seseorang memiliki sifat raja’ maka ia akan bersemangat untuk menggapai rahmat Allah Swt. yang Maha Pengampun, Maha Pengasih dan Penyayang. Meskipun bergelimangan dosa, rasa optimis mendapat ampunan Allah Swt. tetap ada dalam hatinya. Namun perlu diingat bahwa sifat raja’ ini harus bersanding dengan sifat khauf. Jelaskan dampak positif bersandingnya sifat khauf dan raja’ dalam diri seseorang!

  6. Menyerahkan segala urusan itu hanya kepada Allah SWT., setelah berikhtiar. Menurut pendapat anda, mengapa dalam berusaha harus disertai dengan tawakal? Jelaskan!

No comments:

Post a Comment

"tanda-tanda manusia berakhlak baik adalah dengan berkata santun"